Tahun 2024 menjadi tahun yang istimewa bagi demokrasi Indonesia karena pergantian estafet kepemimpinan yang akan terjadi pada pemilu dibulan Februari, pemilu merupakan suatu rangkaian dimana seluruh rakyat Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin baru.
Pemilu sendiri dihadiri oleh partai politik sebagai peserta pemilu, partai politik berfungsi sebagai wadah untuk mewakili kepentingan dan pandangan politik masyarakat. Mereka mencoba untuk merepresentasikan berbagai kelompok dan individu dalam proses politik, sehingga pemilih dapat merasa diwakili dalam pengambilan keputusan politik. partai politik saling bersaing untuk mendapatkan kursi kurisi kepemimpinan agar suara kelompok mereka dapat disuarakan. Partai politik juga diperbolehkan untuk saling bekerjasama atau berkoalisi untuk memenangkan pemilu.
koalisi partai politik ditujukan untuk bekerjasama meraih kekuasaan dan kemenangan, di Indonesia sendiri memiliki satu kebijakan unik dalam pilpres yaitu mewajibkan presidential tresshold dimana partai politik yang ingin mencalonkan dalam pilpres diwajibkan melewati ambang batas sebesar 20% kursi parlemen untuk dapat mencalonkan Presiden. dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi peserta pilpres partai yang mengusung calon harus memenuhi ambang batas tersebut dan jika tidak mencapai ambang batas maka partai politik dapat berkoalisi dengan partai lainnya.
Sejauh ini partai-partai politik di Indonesia telah menyiapkan strategi masing-masing mulai dari pengusungan calon partai, koalisi partai dan pemilihan bakal calon presiden (Bacapres) dan bakal calon wakil presiden (Bacawapres). Dalam koalisi partai politik pada beberapa waktu yang lalu telah terbentuk 3 poros kekuatan politik yang mengusung 3 bakal calon presiden, terdapat poros pengusung Ganjar Pranowo yang diusung PDIP, Prabowo Subianto yang diusung Gerindra dan Anis Baswedan diusung oleh partai Nasdem. Dari ketiga poros tersebut sejauh ini juga telah membentuk koalisi dengan partai politik lainnya. PDIP telah menjalin koalisi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai non parlemen seperti Hanura dan Perindo, Gerindra di lain sisi menggandeng koalisi dengan partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Amanat Nasional (PAN), dan partai non parlemennya yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan partai Gelora dan partai terbaru yang bergabung adalah partai Demokrat yang semakin menguatkan koalisi, terakhir di poros Nasdem yang mengusung Anies Baswedan berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Masing-masing koalisi memiliki kekuataannya dilihat dari jumlah kursi di parlemen, koalisi PDIP memiliki total jumlah 147 kursi parlemen dengan PPP sebesar 19 kursi dan PDIP 128 kursi, koalisi Gerindra di lain sisi memiliki total 261 kursi yang dihimpun dari 78 kursi milik Gerindra, 85 kursi milik Golkar, 44 kursi milik PAN dan 54 kursi milik Demokrat.
Terdapat plot twist menarik akhir akhir ini, pada tanggal 1 September 2023 koalisi perubahan secara tiba-tiba mengumumkan bakal calon wakil presiden mereka, dan yang lebih mengejutkannya lagi bacapres yang diumumkan adalah ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar yang sebelumnya pernah menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto dan ingin berkoalisi dengan gerindra dalam pemilu 2024. Hal ini sontak mengejutkan khalayak politik nasional karena tidak ada yang menyangka PKB bisa berkoalisi dengan Nasdem dan PKS, namun yang paling terpukul dari kejadian ini adalah partai Demokrat, kekecewaan mereka terlihat saat partai Demokrat langsung mengambil sikap keluar dari koalisi perubahan setelah pasangan Anies -- Muhaimin di deklarasikan, menurut ketua umum partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dalam konfrensi pers Dewan Pimpinan Pusat partai Demokrat 4 September lalu mengatakan bahwa partai Demokrat keluar dari koalisi perubahan sebab tidak diikut sertakan dalam penganbilan keputusan bakal calon wakil presiden, baginya lebih baik untuk tidak bersepakat dalam sebuah keputusan yang diambil secara sepihak tanpa melibatkan partai Demokrat, ia juga mengatakan bahwasanya para kader partai Demokrat merasa kecewa dan sakit hati karena merasa dikhianati oleh koalisi. Mereka menganggap kejadian ini sebagai sebuah penghianatan. DPP partai Demokrat Syahrizal Nasution juga menjelaskan bahwa ketum partai Demokrat AHY merasa sakit hati karena merasa dibohongi oleh Anies Baswedan yang beberapa waktu lalu sempat menyurati Agus Harimurti untuk menjadi bacawapres koalisi perubahan. Tidak cukup sampai sana, partai Demokrat pada tanggal 21 September mendeklarasikan bahwa mereka mendukung Prabowo Subianto sebagai calon Presiden RI, hal ini disambut baik oleh koalisi Indonesia Maju dan di ucapkan langsung oleh Prabowo, ia mengucapkan bahwa partai Demokrat adalah kawan lama dan akan terus bersinergi dalam membangun Indonesia kedepannya.
Menanggapi isu ini pihak koalisi perubahan menanggapinya dengan santai, Surya Paloh selaku Ketua Umum partai Nasdem menghormati keputusan Demokrat keluar dari koalisi, pun hal yang sama diucapkan oleh Ketua Umum PKS Ahmad Syaikhu, bagi mereka keluar ataupun bergabung dalam koalisi adalah hak setiap partai. Menanggapi "sakit hati" partai Demokrat, Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Syaroni mengatakan bahwa wajar saja kalau kecewa dalam politik, namun seharusnya biasa saja dalam menanggapi manuver politik dan tidak perlu sakit hati, pun ia mengatakan kalau pencalonan AHY sebagai cawapres belum menemui kesepakatan.
Jika kita melihat isu ini terdapat hal hal menarik untuk di kaji, secara teori koalisi partai yang ideal adalah koalisi yang didasari oleh ideologi partai dan visi misi para partai, namun masuknya Demokrat kedalam koalisi Prabowo yang akan meneruskan kinerja Presiden Jokowi merupakan sebuah keanehan sebab pada awalnya Demokrat mengatakan bahwa mereka akan membawa perubahan dalam kepemimpinan selanjutnya. Pada akhirnya terlihat bahwasanya koalisi di negri ini hanyalah tentang bagaimana memenangkan kekuasaan, jika kita pinjam cara pandang Niccolo Machiavelli dalam memandang politik baginya politik adalah bagaimana merebut kekuasaan dan mempertahankannya bagaimanapun caranya baik itu melanggar etika atau moral selagi bisa mencapai kekuasaan maka diperbolehkan atau the ends justify the means. Jadi segala manuver dan tindak tanduk partai dalam menentukan koalisi adalah suatu tujuan mencari kuasa, tidak peduli berbeda ideologi ataupun visi, selagi bisa menang ya kenapa tidak. Mungkin dapat disimpulkan bahwa, pengkhianatan, penipuan dan sakit hati dalam politik adalah hal yang biasa saja dan tidak perlu dibawa ke hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H