Lihat ke Halaman Asli

Mula Efendi Gultom

Humanis, Loyalis dan Profesional

Pusuk Buhit Bukit Berhala Batak

Diperbarui: 9 September 2020   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Banyak orang dengan mudah memberi label terhadap suatu tempat, barang bahkan dalam suatu kegiatan adat mengandung unsur berhala. Seperti halnya, ketika seseorang atau sekelompok orang mendaki dan menuju puncak Pusuk Buhit, orang lalu bertanya-tanya apakah gerangan permohonan dan keinginan orang tersebut?

Ada saja yang berprasangka naik ke Pusuk Buhit mencari kekuatan, karir, jodoh atau kesembuhan. Sementara itu ada yang mengharamkan menggunakan ulos dengan alasan, bahwa warna merah ulos itu dibuat oleh para leluhur "awalnya" berasal dari darah manusia. Demikian juga dengan kegiatan "adat batak" dimana ada disebutkan "somba marhula-hula" yang diartikan secara harfiah seolah menyembah seperti kepada Allah.

Pernah terjadi saat salah satu kepala keluarga yang mengharamkan menggunakan ulos, meninggal dunia. Kemudian datanglah kerabat dekat adik atau kakaknya dengan duka yang mendalam membawa ulos terbaiknya sebagai ungkapan rasa sayang kepada kerabat yang meninggal tersebut, namun pihak keluarga mencegah kerabat tersebut untuk "mangulosi" mayat tersebut, maka merataplah ia dengan sedih karena merasa tidak dapat melakukan adat yang sepantasnya kepada orang yang sangat dihargainya ketika meninggal dunia.

Demikian juga dengan warisan budaya seperti "piso halasan" sejenis pedang buatan leluhur yang sungguh tragis harus berakhir hanya tinggal besinya saja, karena dibakar oleh pemiliknya, dengan anggapan "pisau Halasan" tersebut "berisi roh jahat".

Anggapan barang-barang peninggalan leluhur yang sudah berumur ratusan tahun karena alasan dianggap mengandung berhala akhirnya dengan mudah melayang ketangan kolektor, seperti buku lak-lak, tombak, pisau halasan bahkan ornament rumah batak.

Fanatisme agama berlebihan telah banyak merubah cara pandang terhadap keleluhuran adat dan budaya batak. Tentu saja ini dipicu oleh tokoh agama yang mengajarkan "benda warisan leluhur" dan "kerja adat" dianggap "salah" menurut "tafsir kaca mata agama masing-masing penganutnya".

Apalagi yang menafsirkan adat secara "harfiah" seperti kalender batak yang disebut dengan "parhalaan". Seolah-olah namanya saja sudah menyerempet kata "berhala". Padahal hanya berisi penanggalan batak dan kejadian-kejadian yang diyakini akan terjadi berulang pada tanggal dan bulan yang sama, sesuai pengalaman nenek moyang orang batak.

Padahal sama seperti halnya pada jaman digital saat ini, banyak orang membuat ramalan cuaca untuk kesinambungan proses pembangunan insfrastruktur, peramalan perdagangan untuk mengantisipasi kemampuan perekonomian.

Lukisan dan pahatan leluhur yang ada pada rumah batak, tongkat dan benda lainnya, diyakini memiliki nilai seni yang tinggi dan mampu mewakili perasaan / pikiran sang pemilik. Sehingga digambarkan mata yang bulat dan besar menggambarkan keberanian dan kekuatan.

Namun Ketika kita memandang dengan "kaca mata digital" timbul prasangka kalau yang digambarkan itu adalah "mahluk dunia lain" alias roh jahat. Sehingga diberilah label "berhala" kemudian ditindak lanjuti dengan menjauhi dan layak untuk dimusnahkan.

Karena "phobia" jangan sampai ada anggapan sipemberi ulos mengartikan "ulos sumber berkat", maka setiap mengulosi tidak lupa si pemberi ulos mengatakan "bukan ulos ini yang memberi berkat tetapi dari Tuhanlah datangnya berkat kepadamu".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline