Tadi malam (Rabu malam, 5 Mei 2010) ada acara “Apa Kabar Indonesia” di TV One. Dengan dipandu oleh Tina Taliisa yang menggemaskan itu, sejumlah politisi dan pengamat (baca: hantu-blau) sedang membicarakan isyu rencana mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Meteri Keungan RI untuk kemudian menerima tawaran Bank Dunia menjadi Direktur Pelaksana. [caption id="attachment_138070" align="alignleft" width="298" caption="Sri Mulyani/Admin (KOMPAS)"][/caption] Terlihat dengan jelas bagaimana tidak fair-nya stasiun televisi kepunyaan Aburizal Bakrie–yang notabene adalah lawan politik Sri Mulyani itu–memperlakukan Sri Mulyani. Dari Partai Demokrat yang mengusung Opsi C di dalam Pansus Angket Bank Century, dan yang karenanya juga adalah pendukung Sri Mulyani dalam memberikan dana talangan itu, mereka hanya mengundang politisi sekaliber Ruhut Sitompul. Sementara itu dari Partai Golkar mereka mengundang Priyo Budi Santoso, dari PDIP mereka mengundang Ara Sirait, dari pengamat mereka mengundang Ishanudin Noorsay (yang posisinya ke kiri dan ke kanan itu) dst. Tentu saja retorika Ruhut Sitompul tidak akan mampu memberikan bobot pembelaan terhadap Sri Mulyani dalam melawan retorika politik yang dibungkus dalam “bahasa seolah-olah hukum” yang digunakan oleh Priyo Budi Santoso dan Ara Sirat untuk mendiskreditkan Sri Mulyani. Kemudian selama diskusi tersebut berlangsung, diperlihatkan pula di pojok layar teve berbagai SMS yang masuk dari penonton sehubungan dengan isyu yang sedang dipercakapkan. Terhitung bahwa 75% dari pesan SMS itu mendiskreditkan Sri Mulyani. Dan siapa yang bisa percaya bahwa pesan itu tidak diedit dan diseleksi dulu sebelum ditayangkan? Orang yang mengerti benar tentang politik dan hukum–dan yang tidak mempunyai kepentingan pribadi atas enyahnya Sri Mulyani dari posisi menteri–pasti tidak akan berani mengatakan bahwa Sri Mulyani sudah menjadi terindikasi–apalagi menjadi tersangka–dalam tindak pidana korupsi (baca: pengucuran dana talangan terhadap Bank Century). Tapi penonton yang tidak mengerti benar tentang politik dan hukum, pasti akan “termakan” oleh manipulasi yang dilakukan oleh TV One tersebut. Bahkan nona-nona cantik tapi masih “hingusan” yang menjadi reporter atau penyiar di stasiun-stasiun tersebut sering juga jadi terkesan menyebalkan karena kenaifannya terhadap perpolitikan dan ketidak-tahuannya terhadap hukum. Di salah satu acara televisi, sehubungan dengan isyu pengunduran diri Sri Mulyani tersebut, seorang reporter bertanya kepada Wimar Witoelar, mantan jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid itu, “Dia pindah ke Washington DC, sementara dia masih terjerat masalah hukum di Indonesia. Bagaimana pendapat Bapak?” Jawab Wimar Witoelar, “Sri Mulyani tidak pernah terjerat masalah hukum, Sri Mulyani terjerat masalah politik. Yang memvonis Sri Mulyani terjerat masalah hukum itu kan cuma DPR dan media, yaitu Metro TV dan TV One….” Kasus TV One seperti tersebut di atas hanyalah satu dari sekian banyak contoh tentang bagaimana media massa memanipulasi informasi dan menggalang opini publik untuk kepentingan kelompok tertentu. Contoh lain yang paling gamblang ialah ketika Aburizal Bakrie (pemilik TV One) bersaing dengan Surya Paloh (pemilik Metro TV) dalam memperebutkan kedudukan ketua umum Partai Golkar. Metro TV tak putus-putusnya mengangkat masalah Lapindo, sementara TV One meng-counter dengan terus-menerus memberitakan prestasi baik Aburizal Bakrie. (Kebetulan Surya Paloh tidak mempunyai dosa yang bagus untuk dijual kepada publik). Disinformasi atau ignorance publik terhadap sebuah isyu juga acapkali terjadi karena faktor kemalasan media. Salah satu contoh yang paling segar dalam ingatan ialah ketika TV One “menukang-nukangi” seseorang untuk mengaku sebagai makelar kasus di Kepolisian RI dan berbicara tentang apa yang dilakukannya. Contoh lain adalah ketika media massa hanya menjadi sekedar corong dan panggung dari orang-orang yang punya kepentingan tertentu. Hal seperti itu nyata sekali terlihat dalam acara-acara debat politik atau hukum. Segala pengamat, politisi atau pengacara berbicara dengan berlomba bersuara lebih keras. Tapi sampai pada akhir acara, penonton tidak pernah menjadi tercerahkan atau menjadi lebih baham tentang duduk perkara sebenarnya dari isyu yang sedang diprdebatkan. Kalau hanya sekedar menyediakan panggung dan corong, maka itu bukan media massa. Itu adalah event organizer. Media massa harus mengambil peranan lebih jauh dari sekedar menjadi event organizer. Media massa harus bisa melakukan investigasi, mencari informasi yang tersembunyi, lalu membeberkannya agar publik menjadi paham. Dan pemahaman publik itulah yang pada gilirannya akan dipakai sebagai keputusan ketika memilih sebuah partai atau figur dalam pemilihan jabatan publik, atau ketika melakukan tekanan terhadap kekuasaan dalam bentuk petisi, demonstrasi dsb. Sakandal Watergate di AS, yang pada akhirnya berujung pada mundurnya Presiden Nixon, pada mulanya bukanlah hasil dari pekerjaan “Pansus Watergate” di Senat AS. Dia bermula dari investigasi dua wartawan The Washington Post, yang membeberkan hasil investigasinya di suratkabarnya. Investigasi kedua wartawan itu mengundang berbagai fihak untuk secara diam-diam juga memberikan informasi tambahan. Salah satu fihak yang sangat terkenal itu adalah “The Deep Throat”–meminjam judul sebuah filem porno yang sangat terkenal pada waktu itu. Di kemudian hari, setelah kasus itu menjadi isyu publik, maka barulah Senat membentuk komisi penyelidikannya. Bandingkanlah apa yang dilakukan oleh media massa AS, dengan apa yang dilakukan oleh media massa Indonesia. Media massa kita hanya menangkap apa yang muncul di permukaan, dan yang umumnya disuarakan oleh para tokoh. Sampai berbulan-bulan setelah isyu Bank Century mencuat, mayarakat tak pernah bisa paham bagaimana sebenarnya gambaran dari “puzzle” yang membingungkan itu. Ada kasus Susno dengan uang Budi Sampurna, ada rapat KSSK, ada manipulasi Robert Tantular, ada Artaboga, dsb. Gambaran puzzle itu barulah bisa sedikit bisa diraba setelah DPR melakukan rapat-rapat Pansus. Dan sampai sekarang pun gambaran yang dimiliki oleh masyarakat itu adalah hasil dari apa yang dibicarakan di gedung DPR itu dan dikutip tanpa tedeng aling-aling oleh media massa. Nyaris tidak ada upaya media massa untuk mengorek dari sumber-sumber “Deep Throat” apa sesungguhnya yang terjadi. Hal yang sama juga terjadi dengan kasus kerusuhan Terimal Peti Kemas Koja. Media massa hanya sibuk dan asyik merekam apa yang kelihatan dan terdengar di permukaan: Satpol PP yang sedang melakukan perang dengan massa, orang-orang pinggir jalan yang bercerita tentang sejarah Mbah Priok dan legalitasnya, dan tokoh-tokoh yang memberikan pernyataan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Dan karena menyadari bahwa televisi itu adalah panggung, maka mereka tentu saja sangat mengatur dandanan dan gaya bicaranya. Sampai kasus tersebut usai tak pernah ada usaha dari media massa untuk memverifikasi berbagai klaim yang diutarakan dengan suara keras itu: Bagaimana duduk perkara sengketa tanah itu? Siapa Mbah Priok itu menurut sejarawan? Bagaimana hubungan mereka yang mengaku ahli waris itu dengan Mbah Priok? Bahkan–alih-alih mencoba mencari akar sebenarnya dari sengketa itu–media massa mengajak masyarakat untuk sibuk berdebat tentang pembubaran Satpol PP. Media massa adalah salah satu pilar dari kehidupan demokrasi yang sehat, disamping partai politik dan institusi lainnya. Tapi kalau partai politik dan media massa “sakit”, demokrasi yang bagaimana lagi yang kita harapkan akan tumbuh dari sana? Demokrasi yang sehat tidak akan mungkin dibangun hanya dengan menyelenggarakan Pemilu oleh masyarakat yang memiliki informasi yang salah atau jauh dari memadai, dan yang keputusannya untuk memilih lebih didasarkan atas berapa besarnya kaos oblong dan sembako yang diterimanya pada saat “Serangan Fajar” [.]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H