Lihat ke Halaman Asli

Video Itu, Saya, Keluarga dan Masyarakat

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena beredarnya video “mirip” Ariel Pieterpan dengan Luna Maya dan Cut Tari tiba-tiba menyadarkan saya betapa ukuran-ukuran moral sudah sangat berubah–di dalam diri saya dan di sekitar saya–sebagai akibat perubahan teknologi informasi dan komunikasi:

Kabar mengenai beredarnya video ini mula-mula saya ketahui ketika membaca beberapa situs berita di internet. Di dalam situs-situs tersebut ditamplkan pula “photo still” dari Luna Maya yang sedang berbaring sehingga membuat saya jadi sedikit “penasaran”. Tapi karena sejak lama saya sudah membangun sikap untuk tidak mau menonton orang yang memang tidak ingin ditonton, maka rasa penasaran itu bisa saya tekan.

Dulu ketika video "Bandung Lautan Asmara” dan “Yahya Zaini dan Maria Eva” beredar, sikap itu jugalah yang saya anut. Walaupun saya sudah tinggal “sejengkal” untuk bisa melihat video tersebut (baca: video itu sudah ada di ponsel kawan yang duduk di sebelah saya) tapi saya tetap tak mau melihatnya. Saya pikir-pikir, disamping alasan “fairness”, maka hal lain yang menyebabkan saya tak suka menonton video itu mungkin juga disebabkan karena saya tak suka kalau hal yang sama terjadi pada diri saya. (Dan “kayaknya” di Matius 7:12 ada ayat yang senada tentang itu). Dan begitulah urusan video Luna Maya menjadi terlupakan sepanjang sisa hari itu.

Tapi malamnya ketika saya sedang berbaring-baring membaca koran di kursi panjang, anak lelaki saya yang sedang membuka-buka internet di seberang saya nyeletuk, “Bapak, sudah nonton video Luna Maya, belum...."  Jawab saya kepada anak saya, “Belum...” Lalu saya jelaskan pula kepadanya sikap moral saya untuk tidak suka mengintip atau menonton orang tanpa sepengetahuan dan seizin yang bersangkutan.

“Bapak,” kata anak lelaki saya itu pula, “Tapi Si Ariel ini memang suka untuk ditonton orang koq….” Lalu anak bercerita panjang-lebar tentang betapa–menurut informasi yang diperolehnya dari temannya sekantor–Ariel ini memang punya kebiasaan untuk merekam semua hubungan seksual yang dilakukannya dengan perempuan, lalu kemudian memutarnya di depan kawan-kawannya sambil tertawa-tawa.

Mendengar penjelasan anak saya itu, maka seraya bangkit menuju ke komputer saya pun berkata, “Kalau dia memang ingin untuk ditonton, yah sebagai orang yang menjunjung tinggi sopan-santun, tentu kita harus menontonnya……”

Tapi ketika saya melongok monitor komputer, ternyata yang saya lihat adalah sebuah situs penggemar fotografi. Karena itu saya bertanya, “Lha, mana….?” Kata anak saya, “Ada di USB saya, tapi ketinggalan di kantor. Kalau harus di-down-load di sini, lama sekali. Bapak cari sajalah link-nya di Google, dan down-load sendiri…”

Saya pun kembali meneruskan membaca koran sambil meperlihatkan sikap “nggak butuh-butuh amat”. Tapi ketika anak lelaki saya itu telah masuk ke kamarnya, tentu saja hal pertama yang saya lakukan adalah mencari link video tersebut di Google. Tapi karena saya adalah orang yang tidak terlalu paham dengan teknologi komputer, maka saya tak tahu bagaimana cara men-down-load video tersebut. Akhirnya saya sibuk membuka-buka Facebook.

Besok paginya–hari Sabtu–ketika anak lelaki saya keluar dari kamar, saya berkata padanya dengan–pura-pura–secara sambil lalu: “Bapak tak bisa men-down-load-nya tadi malam. Tolong bantu dulu……” Kata anak saya, “Ya, ntar deh…..”

Tapi sepanjang hari Sabtu itu anak saya pergi entah kemana. Dan dia belum sempat men-down-load video tersebut. Oleh karena itu, malam harinya, ketika sedang bermain Facebook, secara iseng-iseng saya menulis status: “Tadi pagi saya suruh anak saya men-down-load video itu. Katanya “ntar”. Tapi entah dimana dia sekarang. Memang anak jaman sekarang tak hormat pada orang tua….”

Karena isyu video sedang hangat dibicarakan dimana-mana, maka tentu saja atas status yang demikian saya mendapat banyak tanggapan. Ada yang bercanda, dan ada pula yang serius mengajari saya bagaimana cara men-down-load, dan ada pula yang mau menawarkan rekamannya kepada saya, asal saja saya mau mengambilnya di rumahnya. Tapi hal yang membuat saya terkesan ialah bahwa banyak sekali dari yang menanggapi status itu adalah warga gereja dan yang masih terhitung sebagai “ito”, “boru” atau “inangbao” saya. “Bah, sudah maju sekali jaman ini,” kata saya dalam hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline