Setelah Hujan Lebat, Banjir atau Genangan Air?
Menarik sekali mengamati hujan semalaman dan hiruk pikuk lalu-lintas pagi harinya karena beberapa jalan tertutup genangan air hujan. Pagi tadi anak saya jadi satu-satunya murid yang hadir di kelas. Bukankah hujan deras kejadian biasa dan bukan terjadi kali ini saja? Bukan. Hujan deras dan genangan air kali ini ditunggangi pilkada, dimanfaatkan baik oleh para loyalis brand market leader ataupun para pesaing/ hater dari brand pesaing untuk mendulang simpatisan baru. Ramai sekali di berita apalagi di media sosial, seperti perang opini saling serang saling tuduh bikin gaduh.
Loyalis brand market leader menyatakan bukan banjir tapi genangan, sebentar juga surut, jumlah titik-titik banjir sudah jauh berkurang, dan cepat surut dalam hitungan beberapa jam. Tapi para hater dari brand pesaing menyatakan sebaliknya ini bukan genangan tapi banjir di sebagian besar wilayah, jadi pemimpin brand market leader telah gagal mengatasi banjir. Hastag #jakartabanjir dicuitkan ratusan ribu kali. Kejadiannya sama, tapi pemaknaannya berbeda. Itulah nalar pilkada. Mendukung yang disuka kemudian mecari-cari alasannya. Apa artinya fenomena ini?
Membela Yang Lemah.
Sekali lagi kita belajar bahwa negative minds talk about people, positive minds talk about ideas. Mengapa berfikir negatif? Karena unsur emosional lebih mendominasi pikiran ketimbang unsur rasional. Peningkatan keimanan, peningkatan kesejahteraan sosial, peningkatan pembangunan fisik yang nyata kasat mata seolah tidak ada artinya. Pembangunan tempat-tempat ibadah baru yang sudah dinikmati, berobat gratis, pendidikan gratis, lapangan kerja baru dengan standar UMR + BPJS, rumah susun gratis, transportasi gratis, kelancaran birokrasi mengurus administrasi, seolah masih janji-janji yang belum dinikmati. Untuk siapa semua itu? Untuk siapa?
Bukan untuk yang kaya. Bukan untuk yang minoritas. Bukan. Yang kaya sudah mampu berobat ke RS kelas satu atau keluar negeri. Yang kaya sudah mampu menempuh pendidikan sampai pendidikan tinggi di sekolah/ universitas favorit atau keluar negeri. Yang kaya sudah mampu beli mobil, rumah atau apartemen sendiri tanpa difasiitasi subsidi. Jadi semua itu untuk kamu. Iya kamu. Dan saya juga mau.
Sekarang, apa ide kamu untuk mengatasi banjir di Jakarta? Apa kontribusi kamu untuk mengurangi banjir Jakarta? Coba kamu cerita biar kita semua tahu. Belum ada? Tidak apa-apa kok. Tolong hargai saja pemimpin market leader yang sedang berjuang mewujudkan program bebas banjir itu. Cukup itu. Hargai usahanya kan hasilnya sudah mulai tampak dan terasa. Bukan ganti pemimpinnya. Bila kita belum puas, potong rantingnya, jangan tebang pohonnya, karena setiap hari buahnya sudah kita nikmati juga.
Maling Teriak Maling.
Nalar pilkada ini bisa diibaratkan seperti ini. Malam hari ada pencuri masuk rumah kita dan berhasil mengambil barang-barang berharga saat kita lelap tidur. Ada hansip jaga yang melihat aksi pencuri itu kemudian berteriak-teriak sambil memaki dan beradu nyawa melawan si pencuri. Mana yang kita bela? Apakah kita membela pencurinya yang kebetulan seiman dengan kita? Atau kita membela si hansip yang berbeda imannya? Kebetulan si hansip adalah calon lurah di desa kita juga?
Alangkah sia-sianya kerja keras si hansip yang berani mati sudah membela kepentingan kita, kalau ternyata kita malah membela pencurinya. Apalagi bila kita juga membela guru spiritualnya. Quo Vadis negriku?
Jakarta, 22 Februari 2017