Lihat ke Halaman Asli

Brand War Pilkada DKI (Bagian 1)

Diperbarui: 19 Februari 2017   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir dari toleransi?

Demikian diceritakan anak saya tentang headline sebuah berita di Jerman.  Memang pilkada barusan, khususnya pilkada DKI sebenarnya adalah medan perang segitiga antara tiga brand image yang berbeda.  Ada brand market leader yang membawa positioning anti korupsi dan hasil kerja nyata.  Ada new brand yang membawa label agama.  Ada juga brand yang membuat brand promise lebih pro rakyat kecil.  Ketiga brand membuat awareness melalui media masa, blusukan dan debat.  Lalu membuat appeal dan ask yang kadang juga disertai black campaign melalui media sosial dan komunitas masing-masing.  Hasil action saat pemungutan suara kita semua sudah tahu, masih perlu satu putaran lagi untuk menentukan siapa pemenangnya.

Lalu siapa yang akan menang di putaran kedua nanti?

Pemenangnya adalah brand yang bisa menghasilkan advocate terbanyak.  Artinya bukan saja fokus pada para loyalisnya, tapi brand yang akan jadi pemenang adalah pertama, brand yang para loyalisnya bisa menarik non-user (kaum golput dan yang gagal memilih) menjadi user (ikut pilkada) untuk memilih brand-nya.  Non-user berjumlah sekitar 20-30%.

Kedua, para loyalisnya juga perlu melakukan advocate yang positif dan simpatik agar kaum switcher dan loyalis brand pesaing bisa berubah pikiran dan mengubah brand pilihannya (brand switching).  

Ketiga, ada loosing brand, walaupun brand looser tapi follower-nya bisa menentukan kemenangan.  Disinilah peran yang sangat penting untuk para loyalis untuk melakukan advocate agar bisa mendapatkan trust para follower brand looser ini, sebelum kecolongan direbut brand pesaing.  Lakukan pendekatan simpatik yang sifatnya emosional untuk merebut hati mereka.

Keempat, para loyalis juga perlu terus dijaga loyalitasnya (brand loyalty) agar tidak tergoda dan tertatik untuk pindah mendukung brand pesaing.

Menurut Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya The Marketing Warfare, strategi market leader adalah defensif dan strategi penantang adalah ofensif. Saya kira tidak demikian di dunia politik.  Strategi defensif market leader dengan beberapa kali menggelar event yang dihadiri puluhan ribu loyalisnya terbukti tidak cukup kuat untuk menang satu putaran.  Serangkaian event itu hanya menjadi ajang perkenalan dan silaturahmi para loyalisnya, belum mampu menarik brand switcher yang signifikan.  Hanya bikin heboh di medsos saja, belum cukup kuat menghasilkan loyalis baru.

Perlukah strategi black campaign?

Di dunia politik banyak terjadi black campaign dan masyarakat kita bisa dengan mudah terpengaruh berita-berita semacam itu, apalagi bila diberi label emosional seperti agama, asing, komunis, atau label abstrak seperti sembilan naga.  Bila label emosional sudah dimainkan dan masyarakat termakan issue ini, maka sejuta karya nyata dan pembangunan fisik di depan mata juga tidak akan terlihat.  Pura-pura lupa.  Pura-pura buta.  Bukan lagi fakta yang menjadi berita, tetapi berita bisa dianggap fakta.  Mereka jadi kurang percaya pada bukti, tapi masih tertarik pada janji-janji yang tinggi.  Trend ini perlu diwaspadai.

Jadi brand market leader dalam perkara pilkada ini perlu juga melakukan strategi ofensif.  Menyerang titik lemah brand pesaing.  Carilah fakta kelemahan brand pesaing di masa lalu, cariah fakta kelemahan program dan janji-janjinya.  Lalu bukalah satu-persatu.  Kita sudah banyak belajar, orangnya boleh santun (batasannya etika) tapi ternyata dunia politik tidak bisa hanya dengan cara yang santun saja (batasannya undang-undang). Just do it selama tidak melanggar undang-undang.  Selamat memakai strategi baru, strategi ofensif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline