"Sinar Kasih Sirna Terhalang Tabir Kasta"
Kepada hati kecil yang lemah untuk menyingkap rasa, dan yang sensitif terhadap cinta. Kepada seorang gadis cantik yang ku kenal, namun tidak begitu akrab. Ku buatkan prosa untuk membebaskan, tentang hasrat kasih jiwaku yang terkurung di dalam hati kecil ini.Kian purna berlalu sejak mengenal dia, kasih ini tertahan, tersendat, terhambat, dan stagnan. Kasih itu mendobrak, mengamuk, bagai prahara yang menghempas ombak laut kepada puing-puing tanggul diantara pesisir.
Beberapa kali kucoba tuk ungkapkan, namun tetap tak bisa dan janggal. Sebab ia terlampau cukup jauh bagi ku, dia yang bagai sebuah cincin permata bersemayam diatas kain sutra, dan ditempatkan pada kotak perhiasan yang berkilauan. Sedangkan aku hanya sebuah gelang anyaman bambu, yang digantung di paku-paku dinding usang.
bagi ku cukup ekstrimis untuk mencoba bersanding dengannya. Lagi-lagi aku tidak tahu apa yang mesti dikatakan, tapi jiwaku ingin menuangkan dirinya-sendiri kedalam perkamen... Jiwa yang menderita karna ketimpangan kasta, sehingga memisahkan antara aku dan dia. Tetapi dihibur oleh indahnya cinta, yang mengubah penderitaan menjadi sebuah keriaan nuansa.
Alam telah bersiap-siap untuk tidur dan sang mentari menarik kembali biasan cahaya keemasannya dari dataran jakarta. Tengah malam kembali tiba, dan aku tak punya hiburan kecuali mengingat wajah mu kemudian ku tumpahkan khayalan ku kepada kanvas-kanvas.
Kepada seni nan sastra aku bersaksi, bahwa pesona kenikmatan tidak hanya terletak pada sesuatu yang elok saja. Melainkan sesuatu yang amburadul pun memiliki sisi pesona estetik nya.
Ini adalah ketelanjangan dari jiwa yang dikerdilkan oleh keadaan.
Oleh : Muktasyaf Huda
Nasrullah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H