Badan Informasi Geospasial (BIG) menyebutkan Indonesia memiliki luas wilayah lautan sebesar 3.257.483 KM2 atau 2/3 wilayah Indonesia terdiri dari lautan. Diikuti data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017 jumlah penduduk Indonesia menjadi 264 juta jiwa. Dan pada tahun 2019 ini konsumsi plastik di Indonesia menjadi 6% atau sekitar 5,5 juta ton.
Hal ini didasari oleh pertumbuhan ekonomi, menjadikan kebutuhan plastik meningkat menjadi 1% setiap tahunnya. Dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, ekonomi setiap tahun meningkat. Mengindikasikan pertumbuhan dan permintaan konsumsi plastik yang juga meningkat. Peningkatan ini sangat baik untuk pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun untuk negara seperti Indonesia yang belum memiliki sistem manajemen pengelolaan sampah plastik yang terintegrasi tentu akan membuat penimbunan sampah plastik di Indonesia semakin menumpuk.
Penelitian terbaru menyatakan rata-rata kantong plastik digunakan hanya 25 menit lamanya. Bayangkan jutaan manusia Indonesia mengunakan plastik pada setiap aktivitasnya dengan rata-rata pengunaan 25 menit, kemudian dibuang menjadi sampah dan dibiarkan teromang-ambing di lautan bebas. Sampah plastik adalah material yang sulit terurai dan sangat berpotensi mencemari lingkungan dan menganggu kesehatan hewan dan manusia.
Kolisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, sebanyak 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara dilautan. Kemudian dipertegas oleh data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) 2016 menyatakan, sampah plastik di Indonesia sebanyak 3,2 ton dibuang ke laut setiap tahunnya. Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti pada tanggal 19 Agustus 2018 pada media cetak Kompas mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia yang dibuang ke laut, setelah Cina.
Masalah yang kemudian timbul adalah butuh 500 tahun lamanya bagi sampah plastik untuk terutai. Melansir United Nation Environment Programme, sampah plastik menyebabkan kerugian finansial mencapai 13 millyar dollar US untuk sektor kelautan. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Sekretariat Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati pada 2016 menyatakan, sampah plastik dilautan mengancam kehidupan lebih dari 800 spesies. 40% adalah mamalia dan 44% adalah spesies burung laut. Dilansir dari Marine Pollution Bulletin 2011, plastik yang mengkontaminasi laut akan mencemari jaringan makanan laut yang ada.
Semakin maju suatu negara maka, semakin bertambah sampah plastik di laut. Jika tidak ada kerja sama antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat tentang sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Dampak dari peningkatan jumlah sampah plastik selain mencemari lingkungan juga mempengaruhi status kesehatan mahluk hidup di laut. Sampah plastik yang dibuang pada badan sungai akan mengakibatkan pendakalan dasar sungai dan penyumbatan aliran sungai sehingga menurunkan kualitas air di lingkungan.
Sampah menjadi salah satu jalan dalam proses transfer sumber penyakit di masa depan. Melalui kandungan zat kimia pada sampah plastik yang terurai di badaan air. Kemudian menjadi bahan konsumsi hewan laut, dan mengendap pada jaringan tubuh hewan laut. Setelah itu, hewan laut yang tela terkontaminasi zat kimia berbahaya tersebut dikonsumsi oleh manusia. Ujung-ujungnya menjadi sumber penyakit bagi manusia itu sendiri. Bagi manusia, dampak yang ditimbulkan utnuk kesehatan seperti kanker, cacat lahir, gangguan imunitas, gangguan endokrin dan penyakit bahaya lainnya.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah masih terkendala banyak hal hingga saat ini. Maka dari itu, perlu adanya peran tenaga ahli kesehatan lingkungan yang bekerja sama dengan lintas sektor untuk menyelesaikan permasalahan sampah plastik di laut. Aktivitas pencegahan dan edukasi tentang pentingnya pengelolaan sampah plastik yang terintegrasi menjadi kajian yang sangat penting di Indonesia.
Kementrian Perindustrian terus mendorong pengembangan industri plastik. Tercatat sebanyak 892 unit jumlah industri kemasan yang ada di Indonesia. Dimana konsumsi permintaan plastik 60% didorong oleh industri kemasan makanan dan minuman. Hal ini didukung oleh pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman untuk tidak mematikan industri plastik.
Setelah dilakukan analisis mendalam, semua sampah plastik yang hanyut dan tengelam dilaut berasal dari perusahaan dan/atau industri kemasan. Semua perusahaan tersebut tentu telah terdafar dan memiliki izin usaha oleh pemerintah setempat atau pemerintahan pusat.