Adik ipar saya heboh. Teriak-teriak dia di depan TV. Kami tergopoh-gopoh menghampiri. Ada apa gerangan? Rupanya dia lagi melampiaskan keheranan dan ketidaksetujuan akan sebuah sinetron baru yang baru saja diputar.
"Masa masih SMP sudah hamil!"
"Engga banget nih sinetron. Ga masuk akal. SMP sudah pacar-pacaran!"
"Sinetron seperti ini yang ga jelas. Ga mendidik!"
Lah, emang ada sinetron yang mendidik hari-hari ini?
"Masih SMP sudah pacaran. Aku lho SMA, belum punya pacar!"
Nah, curhat! hahaha
Hari-hari kemaren jagad media sosial juga sedang heboh soal sinetron terkini tersebut. Beragam komentar berseliweran. Ada yang marah-marah, jutek, ada juga yang berkomentar dengan bilang ini adalah pendidikan seksualitas. Wait, whaaat?
Sebagai pecinta tayangan sepakbola, saya jelas anti sinetron. Ooh, bapak-bapak masa nonton sinetron sih. Ga laki! Opini saya sih begitu. Namun menyoal pendidikan seksualitas, saya sepakat bahwa hal itu harus diamalkan. Dikenalkan. Terutama sejak masa kanak-kanak. Tapi tidak dengan kemasan dan konsep semacam sintron itu.
Pendidikan seksualitas jelas berbeda dengan pendidikan seks. Saya memahami pendidikan seksualitas sebagai upaya pengembangan fitrah seksualitas anak dalam koridor gender. Baik sebagai laki-laki dan perempuan. Menjadi laki-laki seutuhnya, menjadi perempuan seutuhnya.
Di tulisan saya tentang minimnya peran laki-laki dalam pendidikan anak usia dini kemaren, sempat saya senggol bahwa pentingnya peran lelaki adalah untuk menyeimbangkan perkembangan rasional dan emosional anak.