Lihat ke Halaman Asli

Muksal Mina

TERVERIFIKASI

Candu Bola, Hasrat Pendidik

Individualitas, Modal Anak Tak Jadi Alang-alang

Diperbarui: 23 Juni 2020   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak sebaya (Sumber foto: parenting.orami.co.id)

Seorang kawan datang bertandang. Bercerita soal kekhatiran. Anaknya mulai berubah. Sering pergi bersama teman-teman sekolah. Khawatir ia buah hatinya akan terpengaruh efek negatif teman-temannya. Padahal di rumah sudah dibekali pendidikan agama, akhlak.

Melihat wajah dunia remaja sekarang, Kekhawatirannya membesar, meski sudah memberi bekal. Menjadi dilema. Dilarang berteman tak mungkin, dilepas bikin cemas.

Kebanyakan anak yang terlibat dengan hal-hal negatif adalah akibat dari ikut-ikutan teman. Terbawa arus. Kawan ajak kemari, ikut. Ajak ke sana, ayo. Bagai alang-alang di puncak bukit kata orang-orang tua dulu. Mudah terbawa angin.

Cobalah tengok remaja yang terjaring operasi narkoba. Alasan yang sering dikemukakan pastilah "ikut-ikutan teman" atau "coba-coba". Maka kemudian yang jadi kambing hitam adalah lingkungan pergaulan si anak.

Pada dunia orang dewasa tentu kita pernah melihat seseorang yang demikian pula. Orang yang sebenarnya baik, namun terjebak hanya karena ikut-ikutan.

Titik lemahnya bisa jadi sangat sederhana. Tak punya pendirian, tak mampu berkata tidak. Mudah sekali terpengaruh, tak dapat mempengaruhi.

Individualitas, Pembentuk Konsep Diri

Tulisan ustad Adriano Rusfi tentang mendidik ego dan sikap individualitas pada anak membuka cakrawala saya. Pada umumnya, harapan orangtua saat anaknya mulai sekolah adalah mampu berbaur, belajar bekerja sama, punya kemampuan sosiabilitas (kemampuan sosial).

Sesungguhnya, anak usia 2-7 tahun berada pada fase egosentris. Individualis. Itu sudah fitrah. Belum masanya menjadi makluk sosial. Maka hal itulah yang perlu dipelihara.

ilustrasi anak bermain dengan saudara (Sumber: kompas.com)

Pada rentang usia itu, seorang anak biasanya mengalami yang namanya fase negativisme. Sangat sering menolak mentah-mentah apa yang disuruhkan. Itu adalah proses yang wajar. Justru pada usia inilah masa emas pembentukan konsep diri.

Anak akan belajar untuk membentuk sudut pandangnya sendiri, dan mempertahankannya. Melindungi apa yang menjadi hak dan prinsip yang diyakininya. Jika fitrahnya sudah begitu, maka kenapa harus dipaksakan untuk belajar bersosialisasi?

Menurut Rusfi, masa 2-7 tahun adalah periode play bagi anak. Bukan game. Anak sama-sama main, bukan bermain bersama. Sosiabilitas (kerja sama, kekompakan, berbagi, dan lain-lain) mulai diajarkan setelah usia 7 tahun. Saat ego dan individualitasnya telah terbentuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline