Pendidikan di era sekarang ini sudah menjadi kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi, seperti halnya pakaian dll. Pendidikan sudah seperti barang mewah, sangat mahal. Keadaan inilah yang membuat orang perlu merogoh kocek dalam-dalam guna memperoleh pendidikan yang diidam-idamkan. Hal ini menjadi sangat ironis apabila kita melihat keadaan ekonomi saudara kita yang rata-rata kebanyakan adalah golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pendidikan memang sekarang hanya bisa dinikmati oleh orang yang berkantong tebal, orang miskin silahkan untuk merajut mimpi saja.
Gambaran tentang biaya pendidikan sekarang memang dirasa sudah tidak relevan. Padahal undang-undang sudah mengatur tentang anggaran yang dialokasikan untuk biaya pendidikan yakni 20% dari APBN, tapi kenyataannya? Untuk masuk PTN (perguruan tinggi negeri) yang dirasa favorit saja sudah pasti membutuhkan biaya sumbangan yang besar agar bisa diterima. Minimal puluhan juta rupiah, besarannya tergantung dari jurusan yang diambil. Itu pun hanya untuk masuk registrasi saja, belum termasuk biaya kuliah, buku, kosan, dll.
Hal ini tidak jauh berbeda untuk jenjang S2 dan S3. Apalagi S2 dan S3 adalah jenjang yang dirasa elit dan lulusannya mendapat gelar magister dan doktor. Para calon mahasiswa S2 dan S3 pun dikagetkan dengan biaya kuliah yang begitu mahal. Mereka terkejut ketika melihat rincian biaya kuliah yang sangat menguras kantong. Salah satu calon mahasiswa S2 di salah satu PTN yang enggan disebut namanya berkata, “Katanya APBN 20 persennya jatah buat pendidikan, tapi mana realisasinya? Padahal saya benar-benar ingin meneruskan kuliah di kampus universitas negeri dengan tujuan biayanya yang ringan, tapi kenyataannya? Ngga salah nih biayanya selangit? Masa universitas negeri lebih mahal dibandingkan dengan universitas swasta!” ungkapnya sambil menggelengkan kepala seraya tersenyum kecut.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa biaya pendidikan di negeri ini memang tidak bersahabat dengan rakyat golongan bawah yang ingin pintar. Hal ini terbukti dengan ungkapan calon mahasiswa yang terlalu berat untuk membayar biaya kuliah. Seharusnya pemerintah benar-benar menganggarkan 20 % APBN tersebut untuk biaya pendidikan sehingga biaya pendidikan di negeri ini tidak terlampau mahal. Selain itu, pemerintah juga harus mempunyai terobosan-terobosan jitu dalam memberikan bantuan (beasiswa). Selama ini bantuan yang digelontorkan oleh pemerintah terkadang kurang tepat sasaran. Memang mahasiswa miskin banyak yang mendapatkan beasiswa tersebut, namun tak jarang pula mahasiswa yang lahir dari kalangan mampu pun meminta jatah beasiswa tersebut. Dari kasus tersebut diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar lebih teliti lagi dalam memberikan beasiswa sehingga beasiswa tersebut benar-benar bermanfaat dan tepat guna bagi yang membutuhkan.
Selain itu, gambaran ironis juga terlihat dalam brosur biaya kuliah S2/S3 di PTN/PTS. Dalam brosur PTN biaya dipatok gila-gilaan bagi jurusan yang favorit. Berbanding terbalik dengan tawaran brosur PTS kebanyakan, mereka menawarkan biaya yang relatif lebih terjangkau jika dibandingkan dengan PTN. Seharusnya PTN harus introspeksi dan berkaca pada PTS. PTN adalah perguruan tinggi milik negara, tidak seharusnya PTN dikomersilkan.
Pendidikan memang bukan segalanya, tapi pendidikan adalah awal dari segalanya… [MAS]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H