"Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan" Sutan Sjarir.
Mempertanyakan 'Netralitas' Antara Kecemasan dan Jenjang Karir Seseorang?
Pemilu merupakan wadah taruhan dalam arena dunia perpolitikan yang tidak bisa dibantah saat ini, ajang berkompetisi demi menduduki kursi tertinggi dalam lingkar kekuasaan.
Area partai politik bersaing satu sama lain, merebutkan posisi strategis di pemerintahan. Bila keluar sebagai pemenang pada pesta demokrasi lima tahun sekali.
Baik dijajaran eksekutif, legislatif, dan ditingkat yudikatif. Bahkan lembaga negara yang dikenal netral, seakan dipertanyakan akan kenetralannya jika dihadapkan pada urusan politik. Kemana arah keberpihakannya...
Pasalnya, situasi politik acap kali menciptakan dua kubu, prokontra di lembaga yang dianggap netral. Namun seringkali malah terjadi ebaliknya, menjadi basis pendukung yang terselubung. Netral dipermukaan tapi belum tentu yang di dalam.
Relevansi dari kemenangan hasil pemilu terkadang menciptakan kecendrungan transaksional dalam sistem birokrasi di tanah air. Pos jabatan, jenjang karir tertentu di lembaga-lembaga resmi pemerintah, didasari keberpihakan berpolitik.
Suka tidak suka, faktanya telah berlaku. Seperti di daerah. Bagaimana besarnya pengaruh kewenangan dari kepala daerah bisa merotasi perangkat dan pejabat di daerah saat berkuasa.
Sangat mungkin yang terjadi di pusat tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada di daerah. Bayangkan bagaimana hebatnya pengaruh dari seorang Presiden? Menunjuk, merekomendasi, bahkan kewenangan untuk memberhentikan.
Realitas ini tak ayal erat mempengaruhi kenetralitasan, keberpihakan. Berujung pada gerakan dalam internal di lembaga formal pemerintah. Antara kecemasan dan srategi mencapai sebuah kesuksesan karir.