Lihat ke Halaman Asli

Ibra Alfaroug

TERVERIFIKASI

Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Kritik Buya Hamka dalam Novel "Angkatan Baru" kepada Pemuda Berpendidikan Tinggi

Diperbarui: 14 Februari 2021   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Review Novel  "Angkatan Baru" Karya Buya Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Buya Hamka. Seorang ulama dan sastrawan ternama yang pernah dimiliki bangsa ini.

Ditangan beliau telah banyak menghasil karya tulis yang  apik, salah satu karya monumentalnya bisa dibilang sebagai mahakarya, yaitu Tafsir al-Azhar yang sampai hari ini adalah satu-satunya tafsir  Al-Qur'an yang ditulis oleh ulama Melayu khusus orang Minangkabau.

Karyanya, baik fiksi maupun nonfiksi telah banyak diterbitkan, puluhan bahkan ratusan karya menggugah rasa. Yang hingga sekarang masih dapat kita nikmati. Meskipun telah berulang kali diterbit ulang, disajikan kembali kepada khalayak pembaca.

Selain ratusan judul buku berkenan dengan agama, sastra, filsafat, tasawuf, politik sejarah dan kebudayaan yang hingga saat ini masih enak untuk dibaca sebagai taman bacaan. Referensi kehidupan dan sebagai refleksi jiwa.

Bahkan salah satu karya fiksinya yaitu novelnya yang teranyar justru diangkat menjadi film layar lebar  tahun 2013 silam yakni "Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk". Menurutku karya fiksi ini adalah kritik sosial serta terkandung bermacam hikmah.

Salah satu novel yang ingin kusuguhkan dalam review kali ini dari koleksi pribadi khususnya novel yang aku miliki juga tak kalah menarik untuk dibaca, ditelaah hikmah cerita yang terkandung.

Yaitu novel yang berjudul "Angkatan Baru" yang konon khabarnya novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1962. Tapi, novel yang aku dapati justru terbit pada tahun 2016, terbitan Gema Insani. Jadi novel ini sudah pernah terbit, diwaktu silam bukan.

Buya Hamka dalam novelnya kali ini berusaha mengajak bahkan justru mengkritisi kepada dunia pendidikan, tentang hakikat pendidikan tinggi yang dimiliki seseorang baiknya digunakan untuk kebajikan bersama. Sidang pembaca diajak tuk menyelami lebih dalam arti pendidikan yang sesungguhnya.

Yaitu, untuk memberi manfaat dan membawa perubahan menuju kemajuan bagi lingkungan sekitar.

Dia mengkritisi paradigma pendidikan yang banyak dilakoni generasi pelajar waktu itu, mungkin. Bahwa telah hilangnya nilai etika saat telah mengenyam bangku sekolah. Kaya akan ilmu pengetahuan namun miskin dari hal moralitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline