Lihat ke Halaman Asli

Ibra Alfaroug

TERVERIFIKASI

Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Demokrasi Tanpa Penyeimbang, Siapakah Oposisi yang Sesungguhnya?

Diperbarui: 25 Oktober 2019   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: ilmudefinisi.com

Sebelum pengumuman kursi di cabinet, ada beberapa opini yang terbangun di kacamata para analis. Yang beranggapan bahwa demokrasi tanah air dalam kadar yang tidak sehat. Yaitu prihal oposisi yang tidak seimbang di parlemen.

Persentase antara pro pemerintah dengan kontra pemerintah, baris koalisi pemenang versus barisan rival, sebagai kekuatan penyeimbang dalam menjalankan demokrasi yang diharapkan tidak seimbang.

Idealnya, persentase dalam parlemen antara 45-55 atau 60-40 bisa dianggap baik, hal yang senada dengan pernyataan salah satu tokoh teras dari partai PKS, Mardani Ali Sera. 

Yang mengupamakan suara di parlemen yang ideal adalah 300 versus 250 atau 230, ini masih dianggap sehat. Jika perbandingan dibawah anggka tersebut jelas melahirkan, kecacatan demokrasi kita.

Logisnya peran oposisi persis sama dengan pola voting dalam menentukan kandidat ketua di berbagai organisasi yang ada. Siapa yang terbanyak, dialah yang sah terpilih. 

Begitupun prihal kebijakan/program, ketika berdasarkan jumlah vote yang terbanyak dijadikan parameter menentukan kebijakan secara tidak langsung memberikan esensi tanda tanya besar, jika kebijakan secara subtansial memiliki konotasi yang bertentangan dari aspirasi public.

Siapakah yang berfungsi jika adegan-adegan seperti ini terbentuk, mungkin akan terjadinya  perkawinan kepentingan yang melahirkan demokrasi yang bersifat tirani, dan Lost Control lembaga legislative, membuat demokrasi yang dicita-citakan hanya dalam tataran demokrasi kelabu.

Semangat Reformasi pun mestinya dipertanyakan, jika masih mengulang sejarah lama yaitu di masa orde baru. Dimana animo pembaharuan dalam meletakan pondasi demokrasi yang baru dibangun, harus mengulang kembali masa ke otoriteran pemerintah. Yang bersifat absolute tanpa bisa diganggu gugat.

Sejatinya, menjadi oposisi adalah untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan amanat perundang-undangan dan kepentingan bangsa. 

Konsekuensi dari pergumulan kepentingan dari lembaga-lembaga penting/utama Negara, dalam pandangan demokrasi sehat harus terhindar dari praktik-praktik persengkongkolan tingkat tinggi dari para politisi tanah air.

SIAPAKAH OPOSISI ITU?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline