Berlakunya kebijakan "zonasi" dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) oleh Mentri Pendidikan. Memicu tanggapan yang kurang sedap dari berbagai daerah. Kebijakan yang bersifat sepihak tanpa ada melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan sistem baru yang akan diberlakukan. Sehingga kebijakan menghasilkan kontradiksi di setiap daerah.
Penolakan ini merupakan sisi insidental, imbas dari rencana tanpa survey lapangan di daerah terpelosok dimana pendidikan masih sangat jauh tertinggal. Hanya berdasarkan pandangan "makro" tanpa menelisik pandangan secara "mikro" diberbagai daerah. Alhasilnya, banyak unsur yang terkait dapat menjadi imbas negatif akan kebijakan.
Sistem zonasi jika ditilik dari kebijakan yang lama. Persis sama dengan sistem rayonisasi. Kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah sebelumnya. Kebijakan yang mewajibkan kepada peserta didik baru untuk memilih. Harus mengikuti kebijakan yang telah ditentukan. Sekolah harus di tempat ini, peserta didik baru seakan dibatasi dalam memilih selain ini.
Dilema pun muncul, dalam konteks mutu peserta didik di masa yang akan datang. Permasalahan-permasalahan yang timbul seharus dapat menjadi kajian untuk direvisi ulang. Melihat sisi baik dan buruknya. Ketika diterapkan.
Satu keniscayaan yang tidak bisa dibantah akan mirisnya beberapa pendidikan di daerah pelosok. Permasalahan gedung yang tidak layak, sarana prasana serba minus, tenaga kependidikan yang hanya dua atau tiga orang, dan akses jalan yang buntu. Seharus menjadi topik utama yang sangat penting dipertimbangkan. Dalam pengembangan akan pendidikan di tanah air.
Toh, ini lebih krusial dari sistem zonasi. Bagaimana generasi emas akan lahir? Jika sekolah banyak yang tidak ada, gurunya yang kurang kalaupun ada hanya pekerja honor, mau belajar penuh kecemasan gedung seakan ambruk, tempat praktik tidak ada, buku-buku seadanya. Inilah beberapa potret evaluasi wajah pendidikan kita.
Seperti insiden perubahan kurukulum yang selalu berubah, P4, CBSA, KBK, KTSP, K13 dan sebagainya. Seperti ganti menteri, ganti juga kebijakan. Sehingga melahirkan kebingungan ditingkat bawah untuk merealisasikan keinginan pemerintah. Baru jalan kok diganti, beberapa waktu dulu ketika si "A" jadi mentri.
Zonasi, Sekolah Swasta Jadi Terancam
Dengan berkembang berbagai lembaga pendidikan formal oleh pihak swasta, dibawah naungan organisasi atau yayasan. Seakan menjadi rival lembaga pendidikan dibawah nanungan pemerintah yang berstatus negeri. Sisi ini seakan memiliki pengaruh posistif dalam menciptakan suasana akademis yang siap bersaing satu sama lain.
Trend pendidikan saat ini. Bukan permasalahan negeri atau swasta. Tapi 'brand' menjadi tolak ukur bagi banyak orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Asumsi miring seputar sekolah swasta "sekolah pelarian' berlahan hilang dalam predaran.
Seperti di daerah saya saat ini, sekolah swasta banyak menjadi sekolah primadona "favorit" bagi masyarakat. Walau cenderung mahal seakan tidak menjadi persoalan bagi para orang tua untuk mendaftarkan anak mereka. Dengan hasil yang tidak mengecewakan. Peralihan status dari sekolah pelarian menjadi sekolah unggulan. Seakan cambuk terbesar bagi sekolah negeri saat ini. Ada apa ya? mengapa ya? ini terjadi. Dalam artian konteks mutu harus menjadi pertimbangan.