Lihat ke Halaman Asli

Bimbinglah Kami ke Jalan yang Lurus

Diperbarui: 16 Maret 2023   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judul di atas jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab redaksinya adalah ihdina as-sirat al-mutaqim. Bagi seorang muslim permohonan ini selalu dipanjatkan setiap hari minimal 17 kali. Karena bacaan ini terdapat dalam surat Fatihah, salah satu rukun yang harus ada di dalam setiap rekaat shalat. Kenapa manusia diperintahkan untuk memohon bimbingan kepada Allah agar berkenan menujukkan ke arah jalan  lurus bagi manusia, sebanyak itu, padahal dia sudah mendapat hidayah Islam? Apakah dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk berbelok arah menikung atau justru ke luar dari jalur yang semestinya?  Bukankah Ketika manusia diciptakan telah dibekali naluri, panca indera dan akal yang bisa membimbingya ke arah jalan lurus dan benar?

Untuk membahas pentingnya bimbingan dari Allah, pembahasan ini dimulai dari kelengkapan manusia yang diberikan Allah pada saat diciptakan di muka bumi. Di antara sekian banyak perangkat yang dilekatkan pada diri manusia, terdapat tiga perangkat yang mampu mempengaruhi kinerjanya yaitu naluri (gharizah), panca indra dan akal). Ketiganya menjadi sarana untuk menghantarkan manusia mendapatkan kebagiaan.

Setiap manusia memiliki naluri. Dalam Kamus Istilah Psikologi (1981) naluri (instinct/gharizah)  diartikan sebagai perbuatan atau respons yang sangat majemuk (kompleks) dan tidak dipelajari, yang dipakai untuk mempertahankan hidup, terdapat pada semua jenis makhluk hidup. Manusia ingin bertahan hidup, memiliki keingintahuan, mencintai, berkumpul, dan sebagainya ini adalah sipat alami manusia yang tidak bisa diberangus. Naluri ini bisa menjadi dasar kebaikan tapi di lain waktu bisa menjadi dasar munculnya kejahatan. Karena dua kencenderungan itulah manusia perlu sekolah, perlu ngaji, bimbingan dan arahan, agar ia selalu mengarah pada jalan positif, menekan potensi negative. Berbagai macam naluri ini diberikan kepada manusia untuk jadi hidayah (petunjuk) dalam mengarungi kehidupannya.

Perangkat lunak yang kedua adalah panca indra. Allah melengkapi manusia dengan panca indra mengingat naluri memiliki sifat yang belum pasti. Panca indera berfungsi untuk menuntun naluri untuk mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Pada saat orang ingin makan, naluri menunjukkan berbagai jenis makanan yang tersedia. Dengan bantuan panca indera inilah kemudian manusia mampu berinteraksi dan mengenal segala sesuatu yang terdapat dalam lingkungan sekitar. Karena itulah kemudian para cendikiawan Pendidikan mengatakan bahwa

"panca indera adalah gerbang ilmu pengetahuan"

Namun nalar dan panca indra ini belum cukup mampu untuk meraih kebahagiaan yang didam-idamkan manusia. Karena ternyata tidak semua benda di alam ini bisa ditangkap oleh panca indera. Alam ini terdiri dari materi yang sifatnya mahsusat (dapat direspon oleh panca indera), namun juga ada yang sifatnya ma'qulat (hanya bisa dijangkau dengan akal). Sesuatu yang bisa tangkap oleh indra tidak mesti selalu benar adanya. Sebagaimana diungkapkan oleh kaum Rasionalis yang diwakli oleh Plato bahwa segala yang didapat dijangkau oleh panca indera hanyalah dunia gejala, seperti fatamorgana, yang tidak nyata dan tidak sempurna. Karena sifatnya yang memungkian adanya tipuan dalal imu jiwa dikenal istilah ilusi optic, dalam Bahasa Arab disebut khida' an-nadhar sehingga pancarindra tidak bisa manfaatkan seutuhnya untuk mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan. Oleh karena itulah kemudian Allah melengkapinya dengan hidayah akal.

Akal yang dimiliki manusia berfungsi untuk mendorong naluri ke arah yang positif, agar naluri mampu menjadi dasar muncul kemaslahatan dan membenahi kesalahan-kesalahan panca indra, memilah antara yang benar dan  salah, menunjukkan antara yang baik dan yang buruk. Akal berusaha menyimpukan tangkapan-tangkapan indrawi menjadikanya sebagai sebuah pengetahuan. Menjadikan segala sesuatu yang diraba, didengar, dirasakan untuk sampai kepada sesuatu yang absrak, maknawi, dan ghaib. Dalam hal ketuhanan mampu menyimpulkan dari adanya makhluk meski ada Khaliq dan seterusnya.

Namun kemampuan akal pun belum dianggap belum mampu mengantarkan manusia  memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Hal itu disebabkan kemampuan akal yang sifatnya terbatas dan nisbi. Dulu sebelum ilmu pengetahuan berkembang pesat, terdapat kesimpulan bahwa sesuatu yang kecil dalam Bahasa al-Qur'an disebut dzarrah adalah biji sawi, ulama sepuh-sepuh menerjemah dengan kata semut pudak (semut hitam yang paling kecil), namun seiring ilmu pengetahuan kemudian di artikan atom, namun setelah itu ada partikel yang lebih kecil atom disebut dengan Quark sebuah partikel yang terdiri dari proton dan neutron. Belum lagi pendapat akal yang berbeda-beda, misalnya pendapat orang Ketika melihat orang lain tersenyum saat bertemu, dianggap sebagai orang yang ramah, tapi bisa jadi justru  dituduh sebagai bentuk cibiran. Belum lagi jika pendapat akal dipengaruhi oleh hawa nafsu.

Ketiga hidayah yang dimiliki manusia tersebut terbukti belum mampu menghantarkannya memperoleh kebenaran yang hakiki, tiduk cukup untuk mendapatkan kebahagiaan hidup jasmani dan rohani di dunia dan akhirat. Karena itulah manusia meniscayakan adanya hidayah (bimbingan) Islam untuk sebagai sarana paripurna dalam meraih kebahagian sejati.  Permohonan ma'unah bimbingan itulah yang mesti dipanjatkan manusia kepada selama 17 kali dalam sehari semalam.  Karena Dia-lah yang berkenan membentangkan jalan tol (sirat al-mustaqim) yang lurus yang menghantarkan manusia pada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.


"Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa hidayah kepada orang yang kau cintai tetapi Allah yang berkenan memberikan hidayah kepada orang yang dikehendakinya, dan Dial ah Dzat yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah (QS. Qasas:56).

            Setelah manusia memperoleh hidayah berupa agama Islam mestinya bisa digunakan sebagai jalan terakhir dalam meraih kebahagiaan, tetapi sayangnya tidak semua orang mampu melalui jalan yang dibentangkan tersebut dengan sukses. Banyak orang yang telah beragama, tapi tidak melakukan ritual ibadah sesuai dengan yang diridhai oleh yang Dzat disembah, enggan melaksanakan ketentuan-ketentuan syariat yang telah digariskan oleh pemilik syariat. Mereka lebih memilih jalan berkelok terdesak oleh keingingan syahwat tegiur rayuan dan godaan syetan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline