Pada dekade ini terjadi sebuah fenomena kehidupan sosial yang bernama flexing. Fenomena ini seperti ditandai dengan maraknya gaya hidup seseorang dengan bangganya memamerkan harta kekayaannya yang dimilikinya. Mereka dengan sangat jumawa menunjukkan memamerkan barang-barang mewah, membeli properti, memiliki aset berharga, atau menunjukkan kemampuan untuk melakukan pembelian yang besar.
Terdapat berbagai alasan kenapa seseorang melakukan flexing. Beberapa alasan umum adalah untuk menunjukkan status mereka, memperoleh pengakuan sosial atau agar dianggap orang yang sukses dalam lingkungan tertentu, atau untuk menjalin koneksi bisnis. Namun, memamerkan kekayaan juga dapat menjadi tindakan yang merendahkan dan tidak pantas. Apalagi jika dilihat dari tinjauan agama Islam.
Kekayaan Itu Titipan
Dalam literatur Islam harta kekayaan itu dianggap sebagai sebuah Amanah atau titipan tuhan yang berfungsi sebagai fitnah/ujian bagi manusia (QS.at-Taghabun). Harta dan kekayaan adalah sebatas perantara untuk menggapai ridha dan dekapan kasih sayang dari yang Maha Rahman. Allah-lah yang memiliki segala sesuatu yang ada alam mayapada ini. Dan bukti bahwa apa yang kita miliki ini adalah titipan adalah laporan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh seorang hamba di hari akhir (QS. Al-Baqarah-284). Dalam penggunaannya mereka dituntut untuk memperhatikan norma-norma yang telah digariskan oleh syariat Islam.
Pada saat memiliki kekayaan, seseorang harus memiliki pertimbangan untuk menggunakan sumber daya dengan bijak dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Mengunakan sebagai kekayannya untuk berinvestasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan pengembangan diri sebagai bentuk investasi jangka panjang yang lebih berarti daripada sekadar memamerkan kekayaan. Selain itu, tidak lupa sebagian dari kekayaannya digunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan atau mendukung organisasi sosial yang berperan penting
Konsep ini tentu saja bertentangan dengan kaum hedonis yang menganggap bahwa mereka adalah penguasa mutlak dari kekayaan yang mereka miliki (milk at-tam). Kekayaan yang mereka miliki menjadikannya bebas sesuka hati, hidup royal untuk menunjukkan eksistensi dan mendorong populeritas bahwa mereka adalah kaum berduit. Mampu memuaskan semua hasrat dan keinginan yang terpendam tanpa pernah memiliki rasa khawatir tentang adanya hisab di hari perhitungan nanti.
Dosa yang Dibanggakan
Segelintir orang yang merasa memiliki kekayaan, terlihat bahwa harta kekayaan yang mereka miliki justru menjadi sumber bencana dan fitnah yang mengalirkan dosa bagi mereka. Dengan kekayaan yang mereka kuasai, mereka bersikap angkuh di depan masyarakat. Orang kaya yang tidak memiliki sikap tawadhu' akan sulit mengontrol pribadi dan sosial. Hilangnya system control diri akan berujung pada sikap israf (menghambur-hamburkan harta) yang jelas-jelas dilarang oleh al-Qur'an.
Dalam kajian islam kita bisa melihat pesan nabi yang melarang umatnya untuk menjauhi sikap syuhrah (upaya menaikkan popularitas). Abu Abdur Rahman dalam Kitab al-Jami' as-Saghir terdapat sebuah redaksi hadis:
, "waspadailah oleh kalian dua pakaian kemasyhuran, wol dan sutra."
Muhammad Al-Munawi dalam Kitab Faidhul Qadir memberikan keterangan redaksi matan hadis diatas menyebut bahwa hal-hal yang menaikkan populeratias adalah perbuatan yang dihukumi makruh dan tercela. Dua pakian yang mendongkrak popularitas pada saat itu adalah pakian yang terbuat dari wol dan sutra. Jika pakaian saja yang menjadi kebutuhan pokok seseorang tidak diperkenankan berlebihan, apalagi memamerkan kekayaan-kekayaan lain. Penggunaan harta yang berlebihan apalagi dapat mendorong seseorang terjerumus pada perbuatan takabur, jumawa dan congkak.