Lihat ke Halaman Asli

Waisak, Sang Budha Suci dan Kuntowijoyo

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_109985" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (nationalgeographic.com)"][/caption] Ini tentang kisah panjang seorang laki-laki bernama Sidharta, putra Raja Sudodhana dengan ratu Mahamaya. Terlahir di taman Lumbini, sebagai Bodhisatva--seseorang yang akan mencapai kesenangan tertinggi, sang Budha. Sebagai proses perjalanan, sang pemuda Sidharta masuk hutan dan meninggalkan kebanggan dunia, sebagai seorang Pangeran. Masuk dalam sepi. Mengenyahkan tiga rasa takut manusiawi, ketakutan akan menua, ketakutan akan menderita sakit dan ketakutan akan kematian yang menjumput. Dalam tahap inilah, pemuda Shidarta mencapai pencahayaan paling tinggi, yang sempurna, sebagai manusia yang pertapa yang sunyi dari keriuhrendahan duaniawi, tetapi gelaisah dalam pencarian. Purnama Sidhi, di bulan Waisak menandai pencapaiannya. Saat wafatnya, menggegerkan seluruh jagad raya, semua yang hidup, bahkan mungkin juga pohon-pohon, batu-batu, sungai yang mengalir, angin yang berhembus, melepaskan kepergiannya, bersujud berdoa khususk dengan bahasa mereka sendiri, nyenyuwun sesuai dengan kedekatan dan pemaknaannya terhadap sebuah relasi kemanusiaan yang sepi dan sunyi. Sang Budha menapaki pencapaian akhirnya, Parinibbana. Akhir dari kehidupan. Hari Tri Suci Waisak, sedang mengenangkan tiga penapakan manusia dalam hidup di dunia yang sudah semakin menua. Dunia yang kian menyakit, dan rapuh karena ulah mereka yang henda menang sendiri. Manusia yang tak lagi hendak menyepi dan cukuplah Ia yang di atas yang mengerti mengenai kebaikan yang dilakukan. Seperti juga laki-laki tua, dalam Cerita Pendek Sepotong Kayu untuk Tuhan, karya Kuntowijoyo. Laki-laki itu hidup di sebuah pedesaan yang terpencil, dan  juga merasa sendiri, karena selalu saja istrinya menganggapnya malas. Dan pada kesepiaan yang benar-benar, sepi ketika istrinya pergi ke lain desa, sang laki-laki tua, tersadar dan ingat benar di dusunnya sedang dilakukan pembangunan masjid. Apa yang dia pikirkan, ia ingin menyumbangkan sesutau seperti yang lain. Pilihannya, sebuah pohon nangka yang sangat di sayanginya, karena ia menanamnya sendiri di kebunnya. Agar tak diketahui orang banyak, karena ia ingin melakukannya dalam diam, laki-laki tua itu menghanyutkannya ke sungai dan memastikan kayunya tersangkut di dekat lokasi masjid di bangun. Tetapi, apa jadinya, manakala fajar tiba, ternyata ia tahu kayu itu tak ada lagi di sana. Hilang entah ke mana dan siapa yang sudah mengambilnya. Ada rasa kecewa yang amat sangat, sebuah ketakutan kebaikannya tak akan sampai. Sebuah keraguan kemanusiaan yang biasa dan jamak. Namun, pada akhirnya, tidak bagi laki-laki itu, Dalam kesepian, sampailah ia pada kemanusiaan yang sempurna, yang tak perlu iming-iming untuk mendapatkan imbalan bagi sebuah kebaikan. Ia yakin saja, dengan nada bertanya, mungkin kayu itu sampai pula sudah ke Tuahnnya. Kuntowijoyo, tidak sedang menyindir siapa pun. Kuntowijoyo sedang mencoba membangun simbol bagi sebuah tahapan kesadaran manusia mengenai kemanusiaannya. Mengenai cara pandang terhadap kehidupan, kebaikan dan keburukan, dan tentu saja mengenai Tuhannya. Pangeran Sidharta, telah mendahului apa yang disimbolkan Kuntowijoyo, ia bahkan melakoninya dengan dirinya sendiri sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup, melampaui tiga tahapan kehidupan, dan terbebas dari tiga rasa takut manusiawi yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan hakiklat kemanusiaan, meski berteriak atas nama kemanusiaan. Begitulah memaknai Waisak, dan mencoba untuk mengejawantahkan dalam kehidupan kini yang sudah kehilangan arah. Kehilangan kamanungsan. Melakukan segala tindak dengan segala cara, justru bukan untuk membebaskan diri dari rasa takut tua, takut sakit dan takut mati, melainkan justru untuk terus memelihara ketakutan itu dalam hatinya. Kerakusan, ketamakan, saling menguasai, dan mencaci ke sana dan ke sini, memaksa-maksa siapa pun, sesungguhnya merupakan represntasi dari kesalahan arah manusia dalam hidupnya, karena dalam jiwanya, dalam hatinya, justru bersarang tiga rasa takut, yang oleh Sang Budha harus dienyahkan jauh-jauh.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline