Lihat ke Halaman Asli

Fundamentalisme, Di Mana Salah Kita?

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persoalan fundamentalisme di negeri ini masih akan terus meningkat atau setidaknya tetap bercokol untuk masa ke depan. Sebagai bagian dari upaya, setidak-tidaknya sedikit mengurangi, penting rasanya melakukan pengamatan-reflektif terhadap proses-proses sosial di ranah gerakan sosial kritis. Lalu, hasilnya bisa digunakan sebagai langkah perbaikan pengembangan strategi sosial baru, yang menghargai berbagai keragaman sosial.

Kategori gerakan sosial kritis, mencakup mereka yang bergerak pada ranah organisasi non pemerintah, organisasi-organisasi kerakyatan dan media massa [mungkin juga para penulis di kompasiana.com, ya]. Kelompok inilah yang memiliki peran dominan dalam memporak-porandakan tatanan sosial yang mapan, melakukan dekontsruksi paradigmatik melalui perang wacana [counter discourse], dan mengembangkan kritisisme di kalangan masyarakat kebanyakan.

Arus besar gerakana mereka sangat terasa dan diakui oleh berbagai kekuatan para penguasa di negeri ini. Kalau toh tidak mendapatkan respons langsung, paling tidak membuat mereka risih. Suara-suara Indonesian Corruption Wacth (ICW), sangat membuat kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani menjadi menguat, dengan topangan media massa yang memiliki idealisme, tentu saja.

Berbagai persoalan tenaga kerja luar negeri, khususnya, perempuan, juga menjadi menguat dan mendapatkan perhatian pemerintah, manakala gerakan sosial perempuan melalui berbagai lembaga, termasuk lembaga pemerintah independent seperti Komnas Perempuan, nyaring bersuara.

Pada ranah anak-anak, hadirnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan hadirnya organisasi non pemerintah seperti, Komnas Anak, Yayasan Samin di Yogyakarta [yang ini sal;ah satu aktivisnya juga menjadi kompasianer aktif], mampu membongkar berbagai persoalan yang dihadapi anak-anak, termasuk masalah pelacuran anak di negeri ini.

Pada pembacaaan gerakan ini sungguh sangat menggembirakan. Menjanjikan peran-peran kritis mereka mampu mewarnai perjuangan dalam kehidupan yang diharapkan bisa menjadi lebih adil dan semakin adil.

Pasalnya, gerakan nyaring mereka yang kemudian menciptakan satu kategorisasi sosial baru, 'aktivis sosial', lantas membuat cara pandang kaum muda di negeri ini menjadi berbeda. Aktivis sosial lantas hanya mencakup mereka yang bersuara nyaring, pandai membuat press release, dan pergi ke berbagai negara dengan gratis, untuk mengikuti berbagai seminar, workshop, dan pelatihan pada level regional maupun internasional.

Pemahaman yang kemudian juga menjadi mapan ini, kemudian mengubah cara pandang kaum muda yang selama ini melakukan gerakan pada level paling dasar dan sepi dari hingar-bingar kritik terhadap penguasa yang hingar bingar. Sebut misalnya, kaum muda yang melakukan pendidikan anak di masjid-masjid atau bahkan di mushola-mushola. Mereka tak pernah diperhitungkan dan tidak akan masuk dalam kategori 'aktivis sosial kritis', oleh gerbong aktivis sosial yang berada dalam ruang hingar bingar ke luar negeri itu.

Hilangnya pengakuan dan perhitungan terhadap anak-anak muda ini, misalnya, pada saat dilakukan kumpul kawan-kawan yang tergabung di milist Forum Pembaca Kompas di Plaza Indonesia, beberapa tahun lalu, saya menghadiri pertemuan ini.  Saat perkenalan, saya mengatakan sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Non Formal di Magelang. Tertangkap pandangan-pandangan yang tidak percaya, bukan sinis, seorang guru PAUD hadir dalam forum pembaca kompas, yang pertemuannya di tempat mewah dan tentu saja dengan biaya transportasi sendiri.

Maka, anak-anak muda yang menjaga gerbang pendidikan awal mengenai pandangan-pandangan tentang keberagaman sosial itu, ditinggalkannya. Mereka berduyun-duyun, dan berjuang untuk bisa masuk dalam gerbong 'aktivis sosial' yang tempatnya bukan di mushola dusun, di masjid desa, melainkan di lembaga-lembaga yang teridentifikasi sebagai gerakan kiritis itu.

Pada konteks inilah, secara substansial, gerakan sosial kritis di Indonesia melakukan kesalahan yang amat fatal di negeri ini. Karena ekslusivitas mereka, tak mampu membaca ruang-ruang yang lebih luas terhadap berbagai elemen yang memberikan sumbangan terhadap kehidupan demokrasi di negeri ini. Pengabaian kaum muda yang bergerak di basis kerakyatan paling krusial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline