Lihat ke Halaman Asli

Bayi dalam Lingkar Cahaya

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam ini, tepat malam ke 365 hari. Surti berdialog dengan janin yang digugurkannya. Melelahkan, bahkan hampir menghabiskan kekenyalan daging yang membungkus tulang. Matanya cekung, tak memancarkan keinginan hidup. Sebuah dialog panjang yang selalu harus dilaluinya setiap malam. Tak ada lagi kecantikan yang tersisa dalam rona wajah yang terus menirus dibalut angin malam.

"Ibu jangan merasa bersalah," kata bayi itu mengawang tepat di depan wajah Surti. Cahaya melingkar-lingkar mengelilinginya. Seakan-akan menyangganya agar ia tak terjatuh ke tanah. Kulit putih lembut itu tak terlukai rerumputan liar di belakang rumah di sudut desa itu. Jika saja tidak diaborsi, mungkin saja, bayi itu sudah mulai merangkak di atas tanah subur itu.

"Tidak..., ibu tidak merasa bersalah, ibu selalu mengikuti kata-katamu."

"Lalu kenapa air mata ibu selalu mengalir setiap kali aku datang menyapa?"

Surti terdiam. Tak kuasa lagi menyusun kata yang tak mengundang pertanyaan lanjutan dari anak bayinya ini.  Surti menguatkan diri, meyakinkan kebenaran kata-kata bayinya, dirinya sama sekali tidak bersalah saat mengakhiri kehamilannya yang terus bertambah usia ketika itu. Menggembungkan perutnya, sedikit demi sedikit. Dan perlahan-lahan pula mengundang perhatian para tetangganya di dusun Bluwangan.

"Apakah ibu masih menyesali perbuatan ibu setahun yang lalu," bayi dengan mata berbinar biru menggemaskan, sekaligus menggetarkan hati Surti.

"Tidak sama sekali anakku. Apa yang Ibu lakukan dulu benar-benar dalam perhitungan yang matang. Sebuah keputusan yang sangat rasional, demi untuk kebaikan kita semua."

"Engkau tentu tahu, masyarakat dusun Bluwangan ini tak pernah bisa mau memahami apa pun yang dilakukan orang lain. Sepertinya tidak ada yang benar dalam pandangan mereka. Bertindak salah, diam pun salah,"  kata Surti sambil sesekali mencuri pandang ke arah bayinya yang terlihat begitu nyaman dalam pangkuan awan dan selimut cahaya.

"Mereka memang orang-orang pintar, orang berpengetahuan, tetapi bukan orang-orang yang bisa memahami. Mereka pintar melihat kesalahan orang lain, tetapi tidak untuk melihat dalam diri mereka sendiri."

Malam merambat tua. Bulan bulat bundar penuh mulai menaik. Merambati garis takdirnya untuk memancarkan cahaya terangnya, sebelum kemudian akan memudar. Besok malam mulai akan berkurang bundarnya, sampai hanya tinggal setengahnya, mengubah diri menjadi sebilah sabit dan untuk kemudian bersembunyi menunggu garis takdir selanjutnya.

Keheningan malam dalam pendar cayahay bulan itu, sungguh melipat lidah Surti hingga kelu. Ia tak mampu bicara lagi, manakala anak bayinya bergerak mendekat. Surti hanya menengadahkan wajahnya, menyambut tangan mungil itu menjulur, dan jari-jari lentiknya mengusap tetes air matanya yang bening tak pernah henti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline