Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Guru Itu (Ternyata) Sulit

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Menjadi Guru,” begitu ringan kata itu kututurkan ketika setiap kali ibuku menanyakan cita-citaku. Guru yang lewat dengan sepeda untanya di depan rumahku menjadi sosok yang amat kuidolakan. Namun, untuk menjadi guru “mulai” terasa sulit ketika harus bergumul dengan pelajaran, bersekolah. Ibu “hanya” sanggup mengantarkan pendidikanku hingga Diploma I IKIP Padang. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada Ibu.

Menjadi guru semakin sulit, terasa ilmu belum cukup, aku “nyambi” nambah pendidikan hingga S.1, tertatih-tatih, menglola gaji kecil untuk belanja anak-anak dan biaya kulia. Alhamdulillah sampai. Menjadi Guru terasa semakin sulit. Itu terasa setelah lebih dari 30 tahun menhadi “Cik Gu.” Tak semudah membalik telapak kaki, ehh…. sorry, telapak tangan. Menjadikan anak (siswa) menjadi pintar, pandai plus baik dan elok, wah susuahnya minta ampun.Mengajar terasa agak gampang ketimbang sulitnya mendidik.

Ketika sekolah sekolah dulu, baru usia kelas 3 SD, telapak tangan ini biasa pedih dan perih karena rol Pak Guru, kalau tak hafal kali  1 sampai Sembilan. Itu di  setiap hari, setiap pagi, ketika masuk kelas. Jangan coba-coba tidak mebuat PR. Bisa tegak itik (angkat kaki sebelah) di depan kelas hinggga jam pelajaran habis. Senangnya, kalau kita sedikit pintar matematik (dulu nerhitung), boleh pulang duluan kalau cepat selesaikan soal. Ini jenis punishment (hukuman) dan reward (hadiah) dari guru, ala tempo dulu. Pusat biru, pipi dan betis merah karna tampar guru kalau melanggar (nakal) itu hal lazim.

Hukuman seperti itu, jangan coba-coba diterapkan oleh guru saat ini. “Kuno” katanya. Dan bisa membawa konsekuensi fatal. Itu bisa membuat  guru  berurusan dengan aparat, komnas HAM atau Komisi Perlindungan anak, atau ini : Didemo masyarakat. Anak (murid) ”kurang ajar” mesti diperlakukan manis. Jangan coba-coba praktek mendidik gaya tempo dulu. Ponsel siapa saja siap mengintai. Bisa-bisa nongol di Metro, TV One dsb.  Bisa dikecam dari 8 penjuru mata angin. Betapapun kita tau. Ada anak yang bias di didik dengan kerling mata, ada yang bisa di tegur dengan kata-kata halus (sindiran) ada yang rada-rada kasar (tembak 12 pas), dan ada lagi ini : CUMA BISA dengan kekerasan (pisik). Tapi, ah tak boleh, itu melanggar HAM.

Setelah 30 tahun menjadi guru, makin kusadari menjdi pendidik itu amat sulit sekali. Tidak mudah menjadikan anak pintar sekali gus baik. Di rumah, di sekolah selalu di sampaikan dan dicontohkan nilai-nilai yang baik. Tapi di tengah-tengah masyarakat yang mereka saksikan dalam keseharian justru bertentangan dengan itu. Tawuran, demo anarkis, korupsi, pelanggaran hukum oleh aparat hukum sendiri dll.  Walau pun mantan siswa banyak yang sukses seperti jadi guru(juga) dokter, dosen, polisi, tentara, pengusaha atau professional lainnya, tapi ada juga yang , karena satu dan lain hal tidak sukses (melanjutkan pendidikan). IngatI Pintu sukses iru banyak. “Tak satu jalan ke Roma,” itu kata orang.

Satu hal yang pasti, diantara siswa yang sukses dan “tidak sukses” itu  tentu, ada yang jadi “korban kekerasan” oleh guru. Termasuk juga dikaukan oleh penulis sendiri. Pengalaman penulis, ketika mendapat undangan halal bi halal, cerita ini mencuat kembali. Anehnya, sudah sekian tahun “kekeras” itu terjadi justru menjadi cerita lucu, dan nostalgia manis. Ah, tetap saja penulis rasakan : Menjadi Guru itu sulit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline