Lihat ke Halaman Asli

Mukhlis Syakir

Nyeruput dan Muntahin pikiran

Antara Qur'an, Gunung, dan Masjid

Diperbarui: 22 Juni 2024   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Gambar Pribadi

            Terlalu suci jika qur'an dibicarakan lalu dikomentari oleh diri ini yang menulisnya saja dalam keadaan bertelanjang dada. Tapi kesucian al-Qur'an tentu tidak akan luntur oleh telanjang dada. Karena al-Qur'an yang sesungguhnya bukan berada dalam pikiran-pikiran yang lalu Kita konsepkan sedemikian rupa. Ia justru masuk ke dalam setiap dada, bila ingin lebih terhormat hati, manusia-manusia yang membacanya.

            Berkaitan dengan membaca al-Qur'an, tentu akan berkaitan dengan memahaminya. Yang menjadi pertanyaan apakah Qur'an dipahami melalui terjemahan semata, naik tingkat sedikit melalui tafsiran ulama, naik lagi pemahaman akan kaidah-kaidah bahasa Arab, jauh lagi pemahaman terhadap balaghah, atau justru pengalaman? Secara akademis tentu jawabannya justru pertanyaan-pertanyaan itu sendiri yang tidak elok.

            Namun demikian apakah pertanyaan itu harus dihentikan? Terlalu pengecut rasanya jika menghindar dari pertanyaan-pertanyaan menantang seperti ini. Tapi mari Kita lihat nabi Muhammad sebagai penerima wahyu dari perspektif personal ia sebagai Muhamad itu sendiri (Muhammad as a Muhammad). Muhammad iya seorang Arab, pernah di didik pada sebuah suku yang paling fasih dalam berbahasa Arab, cerdas, tapi ia seorang yang ummi (buta huruf).

            Kebutaan Muhammad terhadap huruf tentu menutup aksesnya pada keilmuan-keilmuan bertaraf tinggi. Entah itu sastra-sastra Arab masa jahili, filsafat Yunani, kebudayaan Persia, maupun peradaban India. Lalu apa yang menjadi sebab Qur'an cocok diberikan pada Muhammad yang ummi? Dari mana asalnya keindahan-keindahan sastra Qur'an datang sementara jangankan sastrawan, menulis maupun membaca pun ia tak bisa.

            Bagi saya jawabannya ialah ilmu pengalaman. Ilmu pengalaman ia sebagai seorang yatim, ditinggal ibu, berdagang, beternak, beperjalanan, lalu menyepi di Gua Hira. Bukan berdiam di sebuah kuil sambil menanti datangnya wahyu. Hal sama terjadi pada Ibrahim yang tunggang langgang dari waktu ke waktu "mengetes" Tuhan. "Ya Tuhan, jika engkau matahari, tunjukkanlah. Jika engkau bulan, jangan kau hilang" begitu seterusnya.

            Sebagai mahasiswa bahasa Arab, pengalaman ini pula yang mestinya diperhatikan oleh setiap guru di bidang apapun. Terkhusus di bidang saya, bahasa Arab. Hasan Syahatah menyarankan agar siswa itu diajak study tour ke gunung, lautan, pantai, hutan, atau tempat apa pun. Agar apa? Agar rasa bahasa siswa itu lahir dan terlatih, tidak kering kerontang.

Demikian pula Qur'an yang mengandung banyak majas dan gambaran-gambaran semesta tak bisa hanya dibaca berulang-ulang di masjid. Pergilah ke gunung, ajaklah berjalan, bukan hanya melihat lewat proyektor. Besarnya gunung jangan hanya ada dalam bayang dan pikiran, tapi ada dalam lelah menuju puncaknya. Luasnya langit tidak hanya ada di youtube tapi ia lihat sendiri dengan matanya, bukan mata orang lain.

Pendidikan pengalaman, atau saya lebih suka mengistilahkannya pendidikan melalui gerak memang bukanlah hal baru. Para sufi (dervi) telah mengajarkannya seribu tahun lebih yang lalu. Ada yang mengajarkannya melalui gerak, nafas, gaya hidup seminimal mungkin (banyak sufi hidup hanya dengan satu atau dua pakaian), musik, bahkan tari. Masih mau menganggapnya bid'ah? Mari lihat bagaimana Ghazali yang pembela Ahlus Sunnah berpengalaman.

Bukan cerita langka, bahwa ghazali mengalami dua fase yang di tengah-tengahnya ada pergolakan batin: fase sebagai mutakallim (ahli teologi Islam), dan fase ahli tasawuf (ahli spiritualisme Islam). Ghazali yang sudah menjadi Imam (biasanya seorang imam kalupun bukan mujtahid (akademisi Islam yang berhak mengeluarkan fatwa), ia berhak menafsirkan seorang mujtahid). Imam yang syaratnya harus menguasai seluruh aspek keilmuan Islam ini pernah ditegur oleh adiknya.

Adiknya, Ahmad al-Ghazali kalau tak salah, tidak mau diimami oleh sang kakak. Sehingga menjadi tanya bagi kakak. "Adinda, mengapa engkau tak mau menjadi ma'mumku", demikian gambaran percakapannya. Adiknya menjawab, "saat kanda salat, aku melihat darah mengalir di sekujur tubuhmu, sedangkan darah itu najis. Maka salatmu tidak sah". Ghazali terkejut hingga galau spiritual. Akhirnya adiknya menunjukkan sang kakak agar berguru pada gurunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline