Di balik bahasan tentang nafas, ada cerita menarik yang sangat subjektif dengan pengalaman saya. Kebetulan sekali kakak saya seorang anak tenaga dalam yang dulu bernama Hikmatul Iman, kini menjadi Lanthera. Sebagai adik yang punya kecenderungan untuk mengimitasi kakaknya. Saya meniru kebiasaan menarik nafas dalam lalu membuangnya secara perlahan hingga habis. Padahal saya sendiri tidak pernah bergaul sampai sekarang seperti apa Hikmatul Iman tersebut sebenarnya.
Ternyata terkait dengan nafas ini, ada hadits nabi yang mengajarkan bagaimana mengelola makan, minum, dan nafas. Berikut ini redaksinya:
- - (213):
:
Artinya: Dari Miqdam bin Ma'di Karib beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang anak Adam memenuhi wadah yang lebih jelek daripada perutnya, maka cukuplah baginya makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Seandainya tidak mungkin demikian maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafasnya. (Kitab Az Zuhd war Raqaiq karya Ibnu al-Mubarak)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam memiliki concern tersendiri terhadap nafas yang bekerja secara mekanik. Yakni dengan memberinya ruang sepertiga di samping makan dan minum. Nafas sendiri kegiatan yang sering Kita lakukan tanpa kesadaran.
Akhir-akhir ini banyak sekali orang yang belajar tentang mindfullness dengan berbagai pendekatannya. Di antara cara yang dilakukan ialah dengan Yoga ataupun pengelolaan tarik (Inhale)-keluar (Exhale) nafas. Hal ini berkaitan bernafas hampir seperti gerak pompa darah yang bekerja secara otomatis. Padahal nafas sendiri bukan termasuk pada kegiatan yang tidak dapat dikontrol layaknya otot jantung dan usus.
Lebih lanjut, intinya terkait nafas ini ada makna penting dalam hidup berupa mengelola sirkulasi masuk dan keluar. Banyak hal dalam kehidupan ini yang memiliki pola masuk-keluar, sadar ataupun tidak sadar. Makan contohnya yang tentu ada proses sekresinya, pun minum. Tulisan yang diketik di komputer juga ada output bernama print, merekam suara ataupun gambar menghasilkan output audio maupun audio-visual.
Menakjubkannya lagi, pengelolaan input-output ini penting juga dalam olah informasi. Input bacaan maupun kuliah perlu dibuat keluaran yang baik. Jika tidak ada output yang tersedia, maka akan terjadi ledakan dalam diri. Ini mungkin yang menyebabkan kenapa anak sekolah yang tidak memiliki sarana berekspresi dengan baik cenderung mudah mengekspresikannya pada ha-hal negatif.
Exhale dan Inhale informasi dalam diri saya pribadi cukup menarik. Banyaknya membaca dan mendengar podcast bukannya memberikan pencerahan. Justru mumet yang ada. Maka, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam belajar bagi saya sendiri. Pertama output menulis lalu output berbicara. Perkiraan saya karena input membaca menuntut output menulis sedangkan input mendengar memerlukan output berbicara.
Oleh karena itu, kini saya sangat mengamini apa yang guru saya ajarkan ketika saya bertanya dengan takjub kepadanya. Saya pernah bertanya, "pak, kenapa bapak bisa mengajarkan kitab-kitab ushul fiqh, ulumul qur'an, dan ulumul hadits. Padahal guru bapak dahulu tidak pernah mengajarkannya?" Beliau menjawab dengan santai dan bijaksana, "sejauh yang bapak rasakan, cara belajar yang terbaik adalah dengan mengajar". Mungkin karena dalam mengajar ada belajar (input) dan mengajarkan (output). Demikian nafas mengajarkan tentang kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H