Lihat ke Halaman Asli

Mukhlis Syakir

Nyeruput dan Muntahin pikiran

Bukan Sekedar Berbagi Makanan

Diperbarui: 7 Mei 2024   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

              Teman pembaca pasti ngalamin dong, berbagi makanan antar teman pas lagi nongkrong. Saya sendiri sering mengalami hal ini terutama pas ngobong (mondok) dahulu. Tiba-tiba saja ada makanan di tengah kamar yang semua sudah saling tahu kalau makanan itu sengaja ditaruh di tengah dengan maksud berbagi. Momen-momen seperti ini biasanya Kami alami kalau ada teman yang baru pulang dari kampung atau dikunjungi orang tuanya. Bahkan ada yang sengaja nyimpen makanan di lemari masing-masing anggota kamar, dijatah agar semua kebagian.

              Kebiasaan Saya maupun teman-teman di pondok pasti menanyakan makanan itu dari siapa. Apalagi kalau makanannya tetiba ada di lemari karena disimpan pas lagi di luar kamar. Semua itu dilakukan untuk memastikan siapa yang ngasih makanan sehingga Kita bisa berterima kasih pada mereka. Seiring berjalannya waktu Saya juga menemukan kebiasaan yang menganggap menanyakan makanan dari siapa itu seperti meragukan pertemanan. Padahal maksud Kita baik, supaya yang memberi bisa Kita ucap terimakasih dan Kita doakan.

              Kesan seperti itu memang tidak bisa disalahkan, semakin banyak tata krama yang ada dalam pertemanan justru menunjukkan adanya jarak. Kalau memang sudah akrab, yo ambil saja, makanan digeletakkan di tengah tongkrongan kan maksudnya untuk dimakan bersama. Tapi agaknya hal ini kurang memerhatikan bagaimana etika menjaga asupan pada diri Kita yang Islam ajarkan. Dalam Islam, asupan bukan sekedar sehat dan halal, jelas dari siapanya juga harus diperhatikan.

              Salah satu syarat seorang periwayat hadits nabi saja dalam Islam ialah menjaga diri dari halal, haram, bahkan dari barang yang statusnya tidak jelas (syubhat). Jika seorang periwayat hadits tidak menjaga diri seperti demikian maka ia gagal untuk menjadi periwayat hadits yang bisa dipercaya. Karena itu banyak ulama yang diceritakan tidak menerima barang pemberian hingga jelas halal haramnya. Itu juga yang menjadi alasan Imam Ahmad lebih memilih tidak menerima hadiah dari penguasa karena terlalu sulit untuk memastikan barang yang mereka berikan itu halal dan benar-benar hadiah, bukan pemberian dengan harap timbal balik.

              Podcast Berbeda Tapi Bersama oleh Habib Ja'far bersama KPK yang baru Saya dengarkan mentriger Saya pada ingatan-ingatan yang sudah Saya ceritakan di atas. Bagaimana Islam kalau pakai bahasa Habib, "rewel" dalam masalah halal haram. Beliau menambahkan bahwa istri semestinya menanyakan bahkan mencurigai jika suami tiba-tiba membawa harta lebih sepulang dari kerja. Semua ini bukan bentuk tidak adanya saling percaya antar istri dan suami (terlepas siapa yang bawa harta). Justru wujud saling sayang agar tidak mengonsumsi barang yang syubhat.

              Pun demikian saat mempertanyakan "makanan dari siapa" di tongkrongan. Terkadang sebagian orang mengatakan "sudah ambil saja, halal kok". Mempertanyakan makanan dari siapa justru wujud kasih sayang antar teman. Sehingga kemudian setelah diketahui dari Siapa, selain agar diketahui makanan tersebut tidak syubhat, juga agar Kita bisa secara khusus berterima kasih dan mendoakan kebaikan bagi yang memberi. Inilah salah satu bentuk pencegahan korupsi berupa transparansi sumber barang (harta).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline