Lihat ke Halaman Asli

Mukhlis Syakir

Nyeruput dan Muntahin pikiran

Seni Mendramatisasi Hidup

Diperbarui: 16 Maret 2024   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Gambar Pribadi

                Akhir-akhir ini, fenomena migrasi dari filsafat barat yang cenderung rasionalistik menuju filsafat timur yang mistik sudah dapat dirasakan. Mulai dari Stoikisme yang menawarkan hidup lebih santai dan slow demi kesadaran. Istilah-istilah seperti awareness, mindfullness, dan self-love juga marak digunakan. Kehidupan modern yang berfokus pada manusia menjadi kehidupan pasca modern yang berfokus pada alam.

                Kurang lebih, yang menjadi titik utamanya ialah kesadaran manusia akan keterbatasan akal setelah jenuh dengan supremasi akal. Semakin akal digali, semakin diketahuilah lemahnya akal jika tak terkendali. Meskipun sudah ada rumus-rumus penggunaan akal dalam logika. Pada penerapannya Kita akan dihadapkan dengan dilema-dilema. 

Seperti kebiasaan orang dulu (1900-an) yang menggunakan kertas sebagai bungkus barang dimana merusak hutan dan sekarang yang banyak menggunakan plastik pun merusak lautan. Keduanya sama-sama berdampak negatif bagi lingkungan.

                Dengan kemajuan zaman pula, diketahui bahwa akal bisa dimanipulasi sedemikian rupa. Untuk mengingat, manusia bisa diberikan banyak nutrisi maupun teknik menghafal. Pun demikian dalam melupakan. Sedemikian rumitnya manusia karena adanya akal ini. Bisa merusak peradaban karena akal yang dipakai ngakali. Pun akal dibutuhkan untuk menggiring peradaban menuju peradaban yang berkeadaban.

                Oleh karena itu, pasca modern ini selain daripada gaya hidup mistik, gaya hidup stoik, dan lainnya. Menurut saya, ada alternatif lain bernama gaya hidup dramatis.

                Ketika mendengar kata dramatis sekilas memang terkesan cenderung negatif. Terkesan dari kata dramatis ini mengubah sesuatu yang asalnya bersifat netral menjadi menyedihkan atau menyenangkan, menjengkelkan atau merindukan, kesepian atau keramaian.

                Padahal, mungkin justru inilah fitrah manusia sebagai makhluk berkesadaran. Selain memiliki kesadaran untuk memilih. Kesadaran itu pula yang menjadi indra pencerap bahkan pengubah suasana. Berbeda dengan benda-benda mati yang begerak mekanis seperti mesin. Atau hewan yang seakan tidak memiliki banyak ekspresi dan emosi.

                Secara alamiah memang manusia mudah terdramatisasi oleh keadaan. Warna yang Kita lihat terkesan mewakili emosi-emosi tertentu.  Merah bisa berarti marah, bisa berarti berani. Suara yang Kita dengar terkadang bisa mengubah jiwa pada suasana tertentu. Suara-suara seruling Ney Turki contohnya yang biasa dijadikan media dzikir para Sufi aliran rumi. Wewangian parfum bisa mengundang emosi-emosi tertentu, ada aroma yang mengundang semangat, ada pula yang mengundang ketenangan.

                Contoh sederhana lainnya ialah seni fotografi. Terkadang suatu peristiwa sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi ketika ditangkap oleh kamera dengan pencahayaan dan posisi tertentu. Akan melahirkan makna-makna tersendiri. Ngupil saja ketika diambil oleh kamera dengan teknik fokus mungkin bisa berarti estetik. Apalagi dengan adanya editing dan filter, realita dari gambar yang ditangkap sudah bukan lagi ril, bahkan cenderung kabur dan pergi ke dimensi lain.

                Hal yang lucu untuk konteks sekarang seperti dalam potongan-potongan video pendek. Apakah itu di TikTok, Youtube, maupun Instagram. Omongan-omongan sederhana atau gambar tertentu bisa menjadi lucu, sedih, atau energik karena pengaruh musik yang diterapkan. Disinilah terjadinya dramatisasi kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline