Cak Nur, Gus Dur, maupun Buya Syafi'i beberapa bulan ke belakang sedang berada dalam akrobat pemikiran para pecandu pemikiran Islam. Sumbu Kebangsaan yang merupakan bentuk kerjasama antara Nurcholis Madjid Society, Gusdurian, dan MAARIF Institute mencoba untuk merefleksi pemikiran ketiga tokoh unik ini. Para pendekar pluralisme beragama jika meminjam istilah "Three Musketeer from Chicago"-nya Gus Dur (bahwa esensi antar umat beragama itu sama-sama menuju kebaikan, bukan mencampur adukkan agama ya).
Cak Nur yang berlatar belakang HMI, dimana sebagai organisasi mahasiswa tidak terafiliasi dengan ormas besar Islam manapun. Mampu menginisiasi pemikirannya yang bergaya intelektual melalui pernyataan kontroversial "Islam Yes, Partai Islam No". Padahal ia saat itu tengah menjadi harapan umat muslim berhaluan masyumi sebagai "Natsir Muda".
Gus Dur yang berlatar belakang NU tulen baik secara tradisi maupun darah, dimana NU bisa dikatakan merepresentasikan masyarakat Islam Tradisional. Menginisiasi pemikirannya dengan kultur kepesantrenan melalui pernyataan "Assalamu'alaikum bisa diganti dengan Selamat Pagi" di tengah berkumpulnya ulama-ulama NU saat Muktamar yang dilaksanakan di krapyak. Padahal berdasar referensi-referensi yang mungkin para ulama tradisionalis saat itu tidak ditemukan penghalalan hal itu secara tegas.
Buya Syafii yang berlatar belakang Muhammadiyyah tulen alias Islam haluan Modernisme (terkenal dengan jargon Ar-Ruju' Ilal Qur'an wa Sunnah) semenjak ia tinggal di Sumpur Kudus, kampung kelahirannya. Dengan lantang membela Ahok yang waktu itu bahkan MUI mengecam ucapan Ahok dan ikut beramai-ramai "bertawaf" di monas. Beliau beralasan, terlepas benar atau salahnya Ahok menistakan al-Qur'an, tak usah dibuat berlarut-larut.
Secara umum, mereka mengharapkan bagaimana Islam itu terwujud dalam bentuk nilai. Bukan dalam bentuk formal berupa partai, bukan dengan formalisasi etika yang sudah sesuai secara esensi dengan Islam, bukan pula dengan show of power atas kesalahan seorang non-muslim yang bisa diselesaikan melalui dialog. Islam adalah nilai, dan nilainya itu bersifat universal. Maka untuk menyebarkan universalitas nilai Islam (rahmatan lil 'alamin) upaya yang dilakukan ialah dengan berdialog, karena dalam pandangan para pendekar ini, nilai Islam tersebut tidak secara otomatis hanya ada dalam Islam. Tapi membuka peluang bagi adanya kesamaan dengan agama lain.
Meskipun latar belakang frame berfikir mereka berbeda, setidaknya mereka memiliki kesaman dalam memadukan pola tradisional dan modern. Hal ini sangat tidak asing bagi dua anak ideologis Rahman dari Chicago, Cak Nur, dan Buya Syafii. Namun Gus Dur memang selalu unik. Sebagai "sit down comedian", refleksi mendalam pada kitab-kitab turats (harus diakui dipadukan juga dengan bacaan liarnya pada referensi-referensi barat) menjadikannya mampu melahirkan gaya tradisionalitas baru yang tak beda jauh dengan kedua pendekar Chicago. Mari Kita asumsikan saja sintesa tradisionalis dan modernis ini dengan Neo-Modernsime sebagaimana Fazlur Rahman sendiri mengusungnya.
Kembali kepada upaya dialog antar agama dan golongan yang mereka lakukan disamping upaya pemikiran melalui tulisan ataupun kuliah. Secara jelas memberikan dampak yang positif pada bagaimana antar umat beragama bisa saling memahami, bukan sekedar "lakum dinukum waliya din". Tapi bagaimana saling bekerjasama bahkan memfasilitasi kebutuhan spiritual masing-masing umatnya, minimal dengan hilangnya rasa curiga.
Tapi opini pribadi saya, ada satu makhluk yang menjadi musuh bersama bagi setiap agama samawi maupun ardhi. Ya, setan Si perwakilan kejahatan. Dalam upaya dialog dan moderasi beragama, khususnya kaum muslim inklusif. Lontaran pertanyaan yang semoga tak meleset ingin saya sampaikan adalah "sanggupkah untuk bertoleransi bahkan saling bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan spiritual dengan penganut satanisme?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H