Lihat ke Halaman Asli

Mukhlis Syakir

Nyeruput dan Muntahin pikiran

Teruntuk Cokmus, Humanity Above Religion Itu Tidak Mungkin!

Diperbarui: 16 Agustus 2023   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi


Bagi penggemar konten MLI termasuk saya, baju "Humanity Above Religion" yang lumayan sering dipakai Tretan Muslim maupun Coki Pardede tentu sudah tidak aneh. MLI yang selain menghibur juga membawa agenda Kemanusiaan di atas Agama secara tidak langsung. 

Menjadikan isu tersebut menjadi pemikiran trend di kalangan anak muda. Meski sebenarnya humanisme sendiri bukan tren baru di kalangan generasi lama. Terutama bagi orang-orang yang merasa lelah dengan perang yang mengatasnamakan agama.  

It's true gtu, bahwa banyak tragedi peperangan terjadi karena paham yang berbeda berkaitan dengan keimanan. But, sebenarnya ego yang terlebur dalam semangat keagamaanlah yang membuat wajah agama itu rusak nan luntur. Sehingga, fenomena yang terjadi sekarang ialah muaknya korban perang dan generasi selanjutnya terhadap tragedi-tragedi ini membuat mereka mengatakan "kemanusiaan di atas segala-galanya", agama belakangan.  

Secara umum sebenarnya saya sih setuju-setuju saja. Tapi, bagi manusia-manusia yang tengah beragama atau khususnya agama yang ada dalam KTP saya mungkin akan sama sekarang. Bahwa "kemanusiaan tidak akan terwujud tanpa adanya agama".

Maksudnya? Ya, nilai-nilai kemanusiaan yang selalu digelorakan hari-hari ini hanya akan terwujud dengan adanya agama. Kembali kepada filsafat manusia sebagaimana yang telah diajarkan oleh para filosof muslim seperti Ghazali. Dalam berbagai literatur beliau dikutip  menyatakan manusia memiliki karakter hewani dan nabati selain dari akal dan batinnya.

Kita mungkin akan berkata, "Lah, kan ada pembeda berupa akal dan batin?". Jwabannya, "Ora cukup lah itu". Why? Karena akal manusia itu berbeda-beda. Apalagi soal perasaan, manusia mudah terombang-ambing. Jadi bullshit juga sih, orang dahulu yang mengatakan "ikuti kata hati".

Akal manusia dilihat secara IQ saja sudah berbeda-beda. Ada yang ber-IQ rendah, rata-rata, di atas rata-rata, jenius, dan lainnya. Belum lagi gangguan pada saraf otak yang menyebabkan depresi, stress, dan gejala-gejala penyakit kemampuan berpikir.

Hati manusia begitu lemah. Mudah terbawa suasana. Ketika lapar, haus, senang, sedih, dan gejala-gejala perasaan lainnya menunjukkan lemahnya hati. Makanya seorang hakim itu harus seseorang yang berada dalam kondisi prima dalam hukum Islam.

Oleh karena itu, pada akhirnya di era post-modernisme ini manusia kembali pada spiritualitas. Spiritualitas agama langit maupun bumi sama-sama dibutuhkan. Jauh lebih dibutuhkan daripada rasionalitas semata yang berujung pada rasionalisasi. Perasaan semata yang berujung pada cocoklogi.  

Jadi, jika hendak dibawa ke mode serius. Religion is needed for humanity. Adapun terkait mana agama yang benar. Sebaiknya dibahas saja di open mic. Biar para komika tidak kehabisan materi, hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline