Lihat ke Halaman Asli

Mukhlis Syakir

Nyeruput dan Muntahin pikiran

Isu Kesehatan Mental pada Para Santri

Diperbarui: 14 Desember 2022   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kesehatan Mental tengah menjadi pembahsan yang menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Isu ini mungkin lebih dekat dengan anak-anak Gen-Z yang lahir di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Akan tetapi pada kenyataannya tidak hanya kalangan Gen-Z dan Milenial yang memiliki isu ini. Semua kalangan dari seluruh usia memiliki kemungkinan dan permasalahan mental masing-masing.

Saya sebagai penulis, dengan segala keterbatasan dan kesadaran akan posisi saya yang tidak memiliki lisensi untuk bicara  banyak mengenai mental. Baik itu mendefinisikan, menyampaikan arti mental dari para ahli, bahkan membicarakannya saja sudah merupakan perbuatan yang tidak adil. Hanya ingin berceloteh layaknya anak kecil yang sedang belajar bicara. Atau seperti tukang truk yang tidak kuat menahan kencingnya sehingga kencing di pinggir jalan.

Gamblang saja bahwa fokus bahasan yang haru digaris bawahi dalam tulisan saya kali ini ialah mengenai santri. Karena kesehatan mental rasanya sudah menjadi pembahasan umum dan tak perlu mbulet lagi bagi saya untuk tawaf dalam definisinya. Bahwasanya, yang saya maksud dari santri disini bukanlah seseorang yang ngadukduk diam di pondok pesantren sebagaimana pengertian umumnya. Bahasa "santri" yang saya gunakan lebih kepada siapa pun yang tengah berjuang mengenal Tuhannya.

Ya, jiwa, mental, hati, pikiran, atau apa pun itu yang merupakan bagian dari tubuh kita yang tak terlihat perlu untuk dijaga. Tak dipungkiri bahwa agama merupakan salah satu terapi yang efektif untuk mengobati hati yang terluka atau istilah anak-anak sekarangnya (penulis juga masih muda dan anak-anak, hehe) healing. Apa pun agamanya, pertobatan adalah cara untuk kembali ke setelan asal manusia yang suci.

Akan tetapi, ada fenomena sebaliknya yang terjadi. Maksudnya? Ya, beragama menjadi sumber isu kesehatan mental atau maaf, "penyakit mental". Bukan menjadi obat kehidupan malah menjadi musibat kehidupan.

"Loh, kok begitu?" mungkin Anda akan menimpalinya. "Mana mungkin agama menjadi sumber masalah, agama itu solusi segala permasalahan", "Maksud Anda agama adalah sumber masalah?", "Ah itu mah kamu doang kali yang salah cara beragamanya", "wah ini komunisme, sekularisme, liberalisme", dan bla-bla lainnya. Pokoknya sangat renyah dan pedas seperti bala-bala mang unang yang dimakan di pagi hari beserta cabe rawit yang harganya naik tapi tetap gratis cabainya.

Kembali kepada judul, jadi seperti apa saja sih masalah mental yang harus ditanggung oleh para pencari Tuhan atau yang saya istilahkan santri disini? Darimana kamu (penulis) menemukannya dan mempertanggungjawabkannya? Mari kita bahas, tidak keseluruhannya karena terlalu banyak yang terpenting semoga relate dan bermanfaat. Berikut beberapa fenomena yang dapat saya urai:

Pertama, penyakit ragu-ragu atau mungkin mirip dengan OCD (Obsessive Compulsive Disease). Pernahkah Anda lihat orang yang berkali-kali mengulang takbiratul ihram saat salat? Mengulang-ulang wudunya di jamban? Atau melafalkan niat salat bahkan bacaan saat sedang berjamaah dengan keras padahal posisinya makmum?

Meskipun bisa saja Kita mentolelir hal-hal tersebut, akan tetapi bagi yang menderitanya hal ini cukup mengganggu. Pikirkan saja berapa waktu yang harus terbuang dengan keragu-raguan akan mantapnya takbir? Berapa banyak air yang terbuang dengan wudhu yang berulang-ulang? Apakah makmum di samping makmum penderita ragu-ragu ini tidak terganggu konsentrasinya?

Kedua, hilangnya atau kurang rasa kemanusiaan (simpati dan empati). Karena saking nikmatnya beribadah dan bersemangat dalam dakwah, kadang kala sisi-sisi kemanusiaan bisa terkikis. Salah satu contohnya ialah imam yang memimpin salat terlalu lama di waktu zuhur.

Misalnya di sebuah sekolah yang mana waktu isomannya hanyalah setengah jam. Lalu imam tersebut menghabiskan waktu isoma dengan menunggu semua makmum selesai berwudu, salat yang lama, dan berdoa di akhir salat dengan doa yang juga panjang. Kita taruh habislah waktu selama 20 menit dari 30 menit isoman. Lalu sang anak jajan cireng yang harus digoreng terlebih dahulu. Habislah itu anak dimarahi guru yang on time dan ngelarang bawa makanan ke kelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline