Oleh: Mukhlis, S.Pd.,M.Pd.
Tulisan ini tidak sedang melakukan protes terhadap hasil pemilihan presiden yang sudah berlangsung. Akan tetapi, penulis ingin mengulas tentang keunikan masyarakat Aceh dalam menentukan pilihan khususnya pada Pemilihan Presiden Tahun 2024.
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh yang lahir dan besar di provinsi Serambi Mekah, penulis memahami betul karakter dan sifat yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Agar pembahasan tidak melebar ke arah yang tidak disukai, maka perlunya diberikan batasan dari permasalahan yang akan dibahas.
Adapun batasan tersebut hanya berada pada keunikan masyarakat Aceh dalam menentukan pilihan pada pemilihan presiden yang sudah berlangsung. Namun agar lebih terarah pemahaman pembaca terhadap fokus tulisan ini. Penulis sedikit menggambarkan selayang pandang tentang pemilihan calon legislatif (caleg) di Aceh.
Hampir setiap baliho yang dipasang pada saat kampanye,semua caleg tidak berani memasang foto capres pada baliho dari partai yang mengusung calon presiden. Ternyata hal itu terjadi bukan tanpa alasan.
Para caleg yang ikut konstelasi politik tidak memasangkan foto capres- cawapres pada baliho kampanye, ditakutkan akan memunculkan masalah terhadap tingkat keterpilihan pada pemilu calon legislatif..
Mereka beranggapan bahwa, tingkat kepopuleran dan elektabilitas capres- cawapres pada masyarakat Aceh akan berdampak pada suara yang didapat pada pemilu tersebut.
Pantauan penulis selama kampanye, hanya caleg dari partai tertentu yang berani memasangkan foto capres- cawapres di baliho. Itupun capres dan cawapres yang familiar dengan masyarakat Aceh.
Setelah hasil pemungutan suara pilpres disampaikan melalui Quick count, ternyata hanya Aceh yang mampu memenangkan paslon No Urut 1 Anies Baswedan di atas rata.-rata.. Hal ini diketahui untuk Aceh sendiri pasangan tersebut meraih 79, 86%.
Ini sesuatu yang luar biasa dalam sebuah Pemilihan Presiden (Pilpres)dengan tingkat keterpilihan di atas rata -rata nasional. Namun yang perlu diketahui, provinsi Aceh tidak bisa dijadikan ukuran atau indikator tingkat keterpilihan pada capres tertentu seperti yang terjadi pada provinsi lain di Indonesia.