Lihat ke Halaman Asli

Muklis Puna

TERVERIFIKASI

Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Melihat Kembali Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi

Diperbarui: 6 Januari 2024   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Mahasisswa STIkesMu Lhokseumawe, Sedang Belajar Menulis , Sumber: Dokumen Pribadi

Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.

Tahun ini merupakan  kesekian kalinya penulis diminta untuk mengajar matakuliah Bahasa Indonesia  di perguruan tinggi.  Pekerjaan ini sudah penulis lakukan sejak 15 tahun  berlalu. Hampir semua perguruan tinggi yang dekat dengan lokasi tinggal penulis, penulis selalu menenpatkan diri untuk mengajar matakuliah tersebut.

Sebenarnya, sebelum menjadi guru pengasuh mata pelajaran Bahasa Indonesia padatingkat SMA, penulis sempat mengajar di pergurauan tinggi swasta di Aceh pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dengan Program Studi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.  Berbagai matakuliah sudah penulis pelajari dan ajarkan kepada sejumlah mahasaiswa dalam rentang waktu yang panjang. 

Matakuliah yang penulis asuh  banyak berhubungan dengan  sastra, pendidikan, dan matakuliah Bahasa Indonesia sebagai pengantar pada fakultas lain yang ada di perguruan tinggi tersebut. Rasanya agak berlebihan, jika penulis  mengatakan  bahwa mata kuliah Bahasa Indonesia di perguruan tinggi sudah menyatu dengan penulis.  Dalam waktu yang lama dengan jumlah jam tayang tinggi, mengajar matakuliah tersebut membuat penulis semakin optimis. 

Sudah menjadi kebiasaan penulis ketika mengajar, apapunn materi yang diajarkan penulis selalu melakukan sebuah skemata terhadap materi yang akan diberikan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman mahasiswa terhadap  materi yang akan dipelajari. Jawaban dari skemata yang diberikan   mahasiswa akan dijadikan  rancangan pembelajaran untuk materi selajutnya. 

Kegiatan ini dilakukan untuk penyusunan rencana pembelajaran berkelanjutam. Biasanya, penulis membuka skemata   tersebut melalui beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan lewat komunikasi yang bersahabat. Seolah-olah pertanyaan yang diberikan tidak  bermanfaat terhadap materi pembelajaran. Akan tetapi, hal ini  menjadilkan pertanyaan tersebut  sebagai blue print pembelajaran pada pertemuan lanjutan. 

Adapun pertanyaan yang penulis ajukan adalah mengapa Kalian perlu mempelajari Bahasa Indonesia  di perguruan tinggi? Bukankah Kalian   mempelajari  Bahasa Indonesia  sudah 12 tahun sejak dari kelas 1 s.d kelas 12 sekolah menengah?  

Kemudian   ada yang selama ini menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Ibu, lalu kenapa lagi harus dipelajari di perguruan tinggi?  Ketika pertanyaan tersebut diajukan, banyak mahasiswa yang terdiam , tidak tahu menjawab apa yang mesti dijawab. Sekilas terlihat mereka diam sambil bertatapan dan merunduk menghidar dari sasaran pertanyaan yang diajukan.  Berdasarkan kondisi tersebut penulis menduga ternyata ada yang salah dengan pembelajaran Bahasa Indonesia  yang dipelajari mahasiswa, ketika mereka berada pada jenjang wajib belajar selama 12 tahun. 

Setelah penulis menggali lebih dalam melalui wawancara dengan beberapa  mahasiswa yang mengikuti matakulia tersebut.  Ternyata pembelajaran yang  dialami sebelumnya lebih dominan pada penguasaan konsep.  Setiap hari mereka dicecoki dengan sejumlah pengertian  yang ada di buku paket. 

Segala bentuk praktik sangat minim dilakukan terutama yang berkaitan dengan keterampilan membaca dan menulis.  Lebih lanjut, walaupun kurikulum sudah diatur secara estafet sesuai dengan kebutuhan usia, pola pikir dan pertumbuhan raga. Namun pembelajaran tetap masih berfokus pada penguasaan konsep sebagai pengeathuan utama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline