Setelah matahari kembar itu
bersatu dalam cawan politik,
Kulihat orang -orang berdiri di atas kepala
Resah - resah pemilik jiwa,
perlahan rebah dalam jurang kepentingan
Jiwa- jiwa yang dirampas malam itu,
penasaran mengusung berjuta tanya
Mengapa tulisan hidup berbeda lafaz?
Mengapa lidah melaju ke lain arah?
Kenapa bendera putih harus menghapus cita?
Berkibar di pagi buta, hingga telanjang dada
Darah-darah mengalir menyusur kali
Kali dibendung warna umbul umbul
Beku mengental di atas aspal
Dieram matahari dan bulan bermalam hari
Dikikis telapak sedan berplat mewah
Setelah matahari kembar bersatu dalam rasa
Kasak- kusuk mundur sampai ke hulu
Dijemput ombak digulung pasang
Dikipas angin selatan menjadi kenangan semasa
Haluan kisah diputar mengarah ke selatan
Menyelingkuhi nafsu melilit usus
Setelah darah- darah itu kerontang
Jiwa- jiwa penasaran pulang menuju kandil
Wajah pucat menatap Tuhan dalam ragu
Dalam haru Dia bertanya
Dimana tempat ku Tuhan?
Bagaimana takdirku?
Sementara di sana
Bulan dan matahari saling tatap
Berangkulan melepas kemesraan
Mengusir dendam
Membuang sekat
Menghapus kotak- kotak
Bermuka satu berjasad dua
Setelah matahari kembar itu menyaru
Aku adalah jiwa yang tergoda rayuan
Kupikir ada surga gratis di sana
Ada keikhlasan demi cintaku pada-Mu
Tuhan...
Dimana takdir yang telah Kau tuliskan?
Biarkan darahku mengental dengan aspal ibukota
Karena di sana, nasibku menggantung
di tangan dewi keadilan
Lhokseumawe, Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H