Lihat ke Halaman Asli

Mukhlis

TERVERIFIKASI

Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Dilema Guru di Tengah Perubahan Karakter Siswa

Diperbarui: 18 Desember 2023   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi 

Mukhlis, S.Pd., M.Pd

Pembangunan manusia sangat ditentukan oleh profesi guru. Di Indonesia profesi ini dimaknai secara universal. Artinya, siapa saja yang pernah mengajar dan dimana saja kepada orang lain disebut guru.  Mereka tidak memperdulikan dari disiplin ilmu apa dia geluti. Intinya setiap ilmu yang ditransfer, walaupun
tidak bersistem mereka langsung menganggap bahwa itu adalah guru. 

Sayyidina Ali sahabat Rasulullah Saw. mengatakan" Seandainya ada yang mau mengajarkan Aku satu huruf saja, Aku rela jadi budaknya." Dalam peradaban pendidikan yang penuh dengan perubahan informasi, guru masih dianggap sebagai sosok yang mendominasi.

Kita tinggalkan pengantar di atas, pelan tapi pasti sambil mengalih alur pikir ke tema sesungguhnya. Undang-undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 menyatakan bahwa, "Guru adalah individu, baik PNS maupun non-PNS yang diberikan tugas mengajar pada berbagai jenjang pendidikan". Guru yang dimaksud dalam konteks ini adalah seseorang yang mempunyai kualifikasi Pendidikan S1 dan S2,memiliki sertifikat Akta IV sebagai bukti yang bersangkutan mempunyai empat kompetensi meliputi profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian.

Masalah yang menguras pikiran pakar pendidikan adalah nasib guru mulai digerus arus perubahan karakter siswa. Belum hilang satu kasus penganiayaan terhadap  guru muncul kasus lainnya.

Dunia pendidikan tertoreh duka, wajah guru Indonesia merunduk, mereka meradang dalam duka. Pengabdi tanpa gaji harus diganjar nasib tak berpihak. Pemerhati hak asasi manusia bungkam matanya dimanjakan oleh hak siswa yang dinomorsatukan. Hukum tak mampu merajam siswa dalam kasus tersebut, karena Ia belum dapat menerima ganjaran fisik.

Alasan klasik menguap di dunia pendidikan, umurnya belum cukup untuk mempertanggungjawabkan haknya sebagai terdakwa. Kasus demi kasus bertindih dan menghimpit membuat profesi ini makin
sulit. Pertanyaan besar melingkar di pikiran guru adalah kemana dan di mana perlindungan bagi mereka? Pertanyaan ini tak membutuhkan jawaban, sengaja diajukan sebagai sentilan dalam berpikir. Harus diakui nasib guru yang mengajar pada generasi milenial merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi.

Menghadapi generasi  Z  guru dituntut profesional, memahami pedagogik, mempunyai kepribadian sebagai teladan, dan mempunyai jiwa sosial sebagai makhluk sosial. Selain itu, generasi milenial yang bertumpu pada revolusi 4.0. Karakter generasi ini sangat kompleks dan multi perubahan. Dalam berbagai fenomena,mereka ditempah dari berbagai sisi.

 Otak generasi ini diproses oleh informasi yang didapatkan secara instan. Semua yang dianggap sukar bagi mereka menjadi mudah. Informasi berkembang pesat semua dilahap tanpa jeda. Handphone telah menculiknya dalam berbagai versi. Wajar kalau karakternya berubah dalam berbagai dimensi. Bagi mereka guru bukanlah satu-satunya sumber ilmu, tapi mereka menganggap guru hanya salah satu sumber belajar.

Hal ini sesuai dengan Mulayasa, (2007) guru adalah salah satu sumber belajar.Perubahan karakter begitu deras pada Generasi Emas Tahun 2035, ketika Indonesia mencapai kejayaan selama 100 Tahun. Kembali ke masalah awal yang ditabulasi pada judul tulisan ini. Mengajar pada generasi milenial yang terpolarisasi arus globalisasi, guru dituntut harus tampil excellent di tengah suasana kelas berbasis teknologi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline