Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd
puluhan goresan tinta telah kunukilkan
ratusan bait mengantarkan kisah
ribuan bola mata telah terperas
namun, namamu tak pernah meluncur
tiga windu sudah kau dijemput
malam ini....
bayangmu melintas di antara duka
jari menari, dada berdebar rongga dada melebar
kulit keriput membungkus wajah
masih bersemanyam dalam jiwa
tiga windu sudah berlalu
membekas dalam angan
sepeda ontel made in China kau kayuh hidup
kaki renta tak terarah seolah berbisik padaku
raut wajah menua menguratkan beratnya tanggungan
tiga windu sudah kau dipeluk bumi
aku baru bangkit dari mimpi menghimpit
kucoba mengabdi pada bayangmu
untaian doa kusalurkan pada bayu dan lembayung
setiap lebaran kujenguk gubukmu
nafsu dunia telah merenggutku hingga kau terlupakan
tiga windu sudah kita berpisah
kau pergi saat budimu belum terbalas
ku rindu pada petuahmu
ku rindu pada cemeti mengalir lewat alunan indah
ku rindu pada aksaramu terangkai mesra
kurindu pada ungkapan terima kasihmu
saat setetes keringatku kau cicipi
seandainya rotasi waktu dalam genggaman
tak kubiarkan detik melewati menit
tak kuizinkan siang menggantikan malam
tak kurelakan pagi mengejar petang
seandainya kau hadir kembali kini
akan kuhirup setiap napasmu lewat rongga -rongga menua
akan kulepas tulang igaku sebagai alas
agar telapak sucimu tak menyentuh bumi
aku bangga menjadi bagian tubuhmu