Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd
Setelah matahari kembar itu
bersatu dalam cawan politik,
Menyaru dalam kepedulian
orang -orang berdiri di atas kepala sendiri
Resah - resah pemilik jiwa,
pelan-pelan tersungkur dalam jurang kepentingan
Adalah dendam di ubun- ubun ,
Lalu meleleh di kaki-kaki politik
Jiwa- jiwa yang dirampas malam itu,
penasaran mengusung tanya
Mengapa tulisan hidup berbeda lafaz?
Mengapa lidah melaju ke lain arah?
Kenapa bendera harus menghapus cita?
Berkibar di pagi buta, telanjangkan dada
Kemana ikrar yang kau lafaf saat gegap gempita?
Kemana sudah menguap darah yang tumpah di hari huru-hara?
Darah-darah mengalir menyusur kali
Kali dibendung umbul -umbul
Beku mengental di atas aspal
Dieram matahari dan bulan bermalam-malam
Dikikis pedal-pedal sedan berplat mewah
Setelah matahari kembar bersatu dalam cawan
Kasak- kusuk mundur ke hulu
Dijemput ombak digulung pasang
Dikipas angin selatan jadi kenangan semasa
Haluan kisah diputar mengarah ke selatan
Menyelingkuhi nafsu melilit usus
Setelah darah- darah itu kerontang
Jiwa- jiwa penasaran pulang menuju kandil
Wajah pucat menatap Tuhan dalam ragu
Dalam haru Dia bertanya
Dimana tempat ku Tuhan?
Bagaimana takdirku?
Sementara di sana....
Bulan dan matahari saling tatap
Berangkulan melepas kemesraan
Mengusir dendam
Membuang sekat
Menghapus kotak- kotak
Bermuka satu berjasad dua
Setelah matahari kembar itu menyaru
Aku adalah jiwa yang tergoda rayuan
Kupikir ada surga gratis di sana
Ada keikhlasan demi cinta ku pada-Mu
Tuhan...
Dimana takdir yang telah Kau tuliskan?
Biarkan darahku mengental dengan aspal negeri
Karena di sana, nasibku menggantung
di tangan dewi keadilan