Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd
"Kalau Guru Kencing Berdiri, Anak Pasti Kencing Berlari'
Peribahasa di atas menggambarkan sebuah petuah, bahwa guru adalah sosok yang wajib ditiru dalam segala konteks pembentukan karakter. Pada konteks ini penulis ingin menautkan kondisi literasi menulis yang terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini. Beberapa analiss hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), ditemukan bahwa peserta didik tidak mampu menjawab soal yang berhubungan dengan kalimat prediksi, kalimat penjelas yang tidak padu, dan kalimat rensensi. Sebenarnya masih banyak lagi yang berhubungan dengan materi menulis .
Berdasarkan analisis di atas penulis mencurigai bahwa hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang paling mendominasi adalah guru. Keseharian pembelajaran, guru jarang sekali mengaplikasikan keterampilan menulis pada diri peserta didik khususnya pada materi yang sudah disebutkan di atas. Dengan bahasa sederhana guru tidak mampu mengaplikasikan keterampilan menulis dalam setiap konteks belajar, maka dengan sendirinya peserta didik telah mengabil peran sebagai akibat dari ketidakmampuan guru.
Dalam dunia belajar khususnya bahasa Indonesi, hal ini sudah berlangsung lama. Bagiamana mungkin peserta didk dapat menentukan informasi secara tepat dalan teks, sementara mereka tidak pernah dibiasakan membagikan informasi kepada orang lain dalam bentuk tulisan, baik dalam bentuk sederhana maupun kompleks. Para pengajar lebih memberikan penekanan pada ciri- ciri , bentu, dan pengertian yang dimiliki oleh materi menulis.
Ada hal aneh yang sering diremukan pada peserta didik adalah ketika ditanyakan tentang ide pokok dalam dalam teks. Dengan gamblang meteka menjawab , namun ketika diminta untuk menentukan ide tersebut dalam teks mereka kelimpungan. Berarti konsep yang mereka pahami tentang ide pokok tidak berbanding dengan keterampilan menulis yang mereka miliki.
Sistem pendidikan Indonesia telah memberi sinyal bahwa guru bukan satu -satunya sumber belajar, akan tetapi Ia merupakan salah satu. Salah satu artinya, masih terdapat sumber belajar lain selain dirinya. Selain itu, guru juga dapat bertindak sebagai fasilisator dan mediator dalam belajar. Kedua peran ini memberikan arahan pada peserta didik tentang kesulitan- kesulitan yang dialami dalam menjalankan praktik menulis.
Kebiasaan fasilisator dan mediator mereka paham betul tentang apa yang difasilitasi dan apa yang dimedasi. Seorang fasilsator dan mediator ulung bekerja dengan pengalaman dan mampu memberikan contoh yang baik tentang hal yang dilakoni, bukan menunjuk pada contoh. Namun Ia lebih banyak menjadikan dirinya sebagai contoh.
Berkaitan dengan keterampilan menulis yang dimiliki. Guru adalah faktor penentu dalam menjalankan literasi menulis di kalangan peserta didik. Keterampilan menulis tidak pernah dibawa dari lahir, akan tetapi keterampilan ini didapat dari berbagai latihan dan kemauan yang dimiliki oleh guru tersebut. Membiasakan menulis harus diakui bukanlah hal mudah, apalgi mereka masih diikat oleh tata bahasa dan perasaan takut. Takut salah, takut ditertawakan , takut dikritik dan berjuta rasa takut membuat mereka ketakuta.
Penulis tidak menafikan bahwa masih banyak guru di negeri ini yang belum mampu menulis secara tepat. Rendahnya budaya baca juga telah memberikan sumbangan terbesar terhadap budaya tulis. Namun seiring perkembangan informasi dan teknokogi dewasa in, kegiatan menulis mulai mengeliat terutama dikalangan guru dan peserta didik. Munculnya berbagai gawai yang bertaburan di media sosial menambah suasana menulis jadi bergairah. Dari belajar menulis status di beranda pribadi kemudian dishare ke teman- teman merupakan sebuah motivasi awal menulis. Pelan tapi pasti beranjak kepada tulisan yang agak bersistem, lama kelaman jadi terbiasa hingga mampu menulis secara terstruktu, sistematis dan masif.
Di balik perkembangan informasi yang begitu pesat memberikan dampak positif dan negatif terhadap kehidupan menulis di kalangan guru. Positifnya adalah guru telah menjadikan berandanya sebagai ajang sharing informasi pengetshuan kepada peseta didik dengan mengggunakan media tulisan. Sedangkan negatifnya adalah guru masih belum memanfaatkan media sosial sebagai tempat narsis, berselvi ria dan memberikan posting yang bersifat memberikan informasi tentang kehidupan personal, ketika sedang melakukan kegiatan dalam bentuk foto dan vedeo yang disampaikan secar live. Pertanyaan muncul apakah hal seperti ini tidak baik? Jawabannya ada pada diri kita sebagai pelaku agen perubahan dalam dunia pendidikan.