Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Coba tunjuk tangan! " Siapa diantara Kalian yang mau masuk komunitas menulis yang ada di sekolah sebagai wujud kegiatan ekstrakurikuler?" Semua terdiam, ruang sepi-menyepi penuh hikmat layaknya baru menerima kabar duka tentang kematian sahabat tercinta.
Sang guru salah tingkah, karena pertanyaannya tidak direspon. Rasa canggung malah menjadi- jadi. Dia susul pertanyaan ke dua dengan gaya penuh percaya diri mengharap jawaban dari peserta belajar di Kelas Inti pada salah satu SMA favorit di kota X. "
Siapa di antara Kalian yang punya cerpen dan puisi untuk dibukukan sebagai bagian dari produk literasi tingkat sekolah?" Hanya suara kipas angin butut yang meraung- raung di atas kepala mengusir keringat di jidat dan wajah mereka. Suasana tambah hening, para siswa menatap kosong. Tiba tiba..., Seorang siswa perempuan yang dikenal cerdas menyela di antara desiran angin buatan itu. " Pak..!, "Kami tidak suka menulis, tidak mau berhalusinasi dan kami memang tidak mau pikiran dipenuhi dengan aturan- aturan dan bahasa yang ribet serta banyak tantangan"
Ucapan pedas itu bagai menampar wajah sang guru yang memiliki hobi menulis dan membaca apa saja yang bisa dibaca dan ditulis. Wajahnya merah padam,tubuhnya seperti diremas- remas. Keterasingan tampak transparan, padahal selama ini Ia sangat dirindukan oleh peserta didik di kelas tersebut. Berada di tengah deretan kursi yang dipenuhi siswa kebanggaan bagai tamu pulang ke rumah sendiri.
Peristiwa yang diceritakan oleh seorang sahabat, telah memberikan sebuah gagasan pada penulis untuk memburai benang kusut ini dalam sistem pendidikan dan upaya menegakkan budaya literasi di tingkat sekolah. Sudah diketahui umum bahwa sekolahlah yang mampu membangunkan literasi di negeri ini dari tidur panjangnya. Di samping dikelola oleh sumberdaya manusia yang punya dedikasi terhadap pengembangan pendidikan, sekolah memiliki sarana dan prasarana yang memadai.
Pertanyaan terus saja bersusun bagai mahkota bersusun tiga. Artinya, pertanyaan mengapa kisah di atas mesti terjadi dan berlangsung secara alamiah? Lalu, Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap lemahnya budaya literasi di negeri ini? Belum selesai pertanyaan di atas diisi pada bagai -bagian yang rumpang saja, pertanyaan lain muncul" Apakah pembelajaran pada warga belajar hanya mengandalkan metode menghafal ? Atau ..... Stok pertanyaan harus disimpan di saku- saku baju dinas para pendidik.
Untuk kasus ini, penulis tidak ingin menghakimi para pendidik. Dalam kacamata penulis, pendidik bukanlah faktor utama dari literasi, karena mereka bagian dari sistem yang menguasai pendidikan hari ini.
Akan tetapi, alangkah baiknya, jika dalam sistem literasi Indonesia mereka para pendidik dijadikan sebagai model dari literasi sendiri. Bukan sebagai toa atau pelantang untuk menyuarakan gemuruhnya kumandang literasi. Perlu diketahui bersama bahwa seiring majunya arus globalisasi, literasi tidak hanya berkutat pada landing sector membaca dan menulis saja, akan tetapi wacana ini telah merambah pada bidang budaya, teknologi dan literasi sejarah
Nah... Untuk menghadapi hal di atas, guru sebagai agen ilmu pengetahuan harus menyiapkan diri sebagai role model dalam memajukan literasi Indonesia. Namun hal ini harus didukung oleh para stakeholder selaku pemangku kepentingan dalam meningkatkan sumber daya manusia. Apapun alasan yang mengemuka sumberdaya manusia bisa maju dan berkualitas dapat dilihat pada perkembangan literasi.
Jika menilik pada konsep literasi secara etimologi adalah kemampuan individu mengolah dan memahami informasi saat membaca atau menulis. Literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis, oleh karena itu, literasi tidak terlepas dari ketrampilan bahasa yaitu pengetahuan bahasa tulis dan lisan yang memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan tentang genre dan kultural.https://www.literasipublik.com/pengertian-literasi diakses 16 September2023.