Lihat ke Halaman Asli

Memelihara Binatang di Dalam Rumah? Sebaiknya Berpikir Ulang

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bismillahirrahmaanirrahiim

Tulisan ini mulai ditulis dua hari menjelang meninggalnya Ibunda Siti Aminah pada awal januari 2011. Pertama ditulis di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, sambil menunggu beliau dirawat dan dilanjutkan dua bulan setelah beliau wafat.

Ini merupakan pengalaman pahit yang harus dialami oleh ibu saya selama hampir sepuluh tahun terakhir. Ceritanya berawal dari ketika sibuk membangun masjid, stok gabah di lumbung hasil panenan banyak digerogoti tikus. Sambil berdoa supaya tikus-tikus dijauhkan, ternyata dari rumah tetangga ada kucing betina yang boyong, transmigrasi dan akhirnya menetap di rumah.

Setali tiga uang, kehadiran keluarga kucing ini disambut baik karena terbukti mengenyahkan para tikus tersebut. Stok gabah pun aman selama enam tahun. Sayangnya di tengah masa-masa harmonis tersebut, terjadi insiden yang merupakan awal ujian tersebut. Di pagi hari ketika sedang mengambil lauk-pauk di lemari, ketika berbalik arah, jari kaki ibu saya menginjak anak kucing yang langsung menggigit jari tersebut hingga berdarah. Sambil berangkat ke sekolah (karena profesi ibu adalah guru), ibu menyempatkan mampir ke puskesmas untuk berobat. Dan setelah menjalani perawatan luka sekedarnya, oleh dokter dikatakan tidak berbahaya. Ini kejadian di tahun 2000.

Sekitar pertengahan 2002, sepulang dari menghadiri undangan pernikahan di Jakarta, kurang satu km dari rumah, timbullah gejalanya. Tiba-tiba ibu pingsan tanpa sebab yang jelas. Padahal sedari dulu tidak pernah mengalami hal ini. Pada kejadian yang pertama, langsung ditangani oleh tenaga medis dan dirujuk ke puskesmas. Namun dokter belum bisa menentukan penyebabnya. Hingga pingsan ini berulang beberapa kali dan megharuskan dirujuk ke RS kabupaten dan kemudian atas saran kakak sepupu yang juga dokter spesialis, dibawa ke RS yang lebih memadai untuk menganalisa penyebabnya.

Dibawalah ke Malang dan dirawat di RSSA, sambil dianalisa lengkap darahnya dan dilakukan rontgen, ct-scan dan analisa laboratorium lainnya. Dus, ketika hasil-hasil lab tersebut keluar, yang dinyatakan positif adalah adanya virus toksoplasma yang ditandai dengan adanya kandungan IgM dan IgG dalam darah. Sedangkan fenomena efeknya terlihat di hasil ct-scan yang menunjukkan adanya pengapuran di otak kecil (kalsifikasi cerebellum). Begitu menurut analisa dokter.

Berdasarkan analisa lanjutan oleh dokter spesialis syaraf Bambang Budiarso, seorang spesialis di kota Malang, adanya pengapuran di otak inilah yang menjadikan ibu sering pingsan yang diawali dengan gejala kejang. Alhamdulillah penyebab kejang dan pingsan sudah diketahui. Langkah selanjutnya adalah menyembuhkan penyakit itu. Dengan terapi dari dokter menggunakan obat-obatan, virus berhasil dinonaktifkan.

Tetapi, yang ternyata sulit atau hampir mustahil diperbaiki adalah pengapuran yang sudah terjadi di otak kecil tersebut. Menurut info dokter, otak kecil bertanggungjawab terhadap kerja keseimbangan dan syaraf bicara dan seiring bertambahnya usia, akan semakin banyak dan meluas. Fenomena gangguan syaraf keseimbangan dan bicara itulah yang sering dialami ibu. Apalagi seiring bertambahnya usia, penyembuhan menjadi semakin sulit. Oleh karena itu, diberikanlah terapi sekedar untuk mencegah terjadinya kejang.

Terapi obat yang diberikan yaitu pemberian fenitoin ke dalam tubuh yang bila berbentuk cairan bisa diinjeksi (ketika di rumah sakit), tetapi bila di rumah dalam kondisi normal, diberikan obat dengan merk dagang Dilantin. Dosis yang diberikan berkisar antara 2×100 mg hingga 3×100 mg.

Perubahan Dosis
Adanya variasi dosis ini, sering menjadikan hal-hal yang nyaris berjung fatal. Beberapa kali hal ini terjadi. Maklum, sebagai manusia normal, bila harus mengkonsumsi obat 3x sehari selama hampir sepuluh tahun, kadang membuat hampir frustrasi. Namun ibu saya tetap disiplin meminumnya. Meski berbagai kebosanan melanda, karena bergantung kepada obat-obatan agar tidak mengalami kejang. Di tahun 2005, karena terjadi kekeliruan dosis (biasanya meminum dosis 3×100 mg, tetapi entah kenapa di apotek hanya ada yang 50 mg sehingga 3×50 mg), Ibu mengalami anfal. Akibatnya beliau harus dirawat intensif dan kali ini di kota Malang. Setelah beberapa minggu dirawat, Alhamdulillah bisa kembali ke rumah dan beraktivitas.

Tahun 2007 awal, karena seringnya cuti sakit, dan atas saran Bapak, pensiun dini pun diajukan Ibu. Alasannya cukup logis, untuk mengurangi beban pikiran dan tenaga, mengingat posisi beliau sebagai seorang Kepala Sekolah. Di akhir tahun itu saya menikah. Alhamdulillah selama mempersiapkan acara pernikahan saya, beliau tetap sehat dan tidak mengalami gangguan kesehatan yang berarti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline