Bumi semakin tua, Perubahan iklim terjadi di hampir di semua belahan dunia, Isu Pemanasan global tanpa disadari begitu dekat dan sangat berdampak pada kehidupan ummat manusia, tak terkecuali kegiatan ekonomi. Pasca Revolusi Industri pada abad 18, penemuan berbagai mesin produksi telah mengubah cara kerja ekonomi dunia. Produksi dilakukan secar besar - besarkan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan. Exploitasi Sumber Daya Alam dilakukan secara ekstrim dan para korporasi raksasa berlomba - lomba mencari sumber kekayaan alam dari berbagai penjuruh dunia. Hingga akhirnya Alam memberikan feedbacknya. Berbagai bencana alam akibat perubahan iklim menjadi sinyal bahwa bumi semakin tua dan perlu cara lain untuk mengolahnya
Perubahan Iklim dalam beberapa dekade ini nyata memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian dunia. Laporan S&P Global pada tahun 2022 menyatakan Perubahan iklim dapat menghilangkan 4% dari output ekonomi tahunan global pada tahun 2050. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) juga menghitung bahwa, rata-rata bencana terkait cuaca, iklim, atau air telah terjadi di suatu tempat di dunia setiap hari selama 50 tahun terakhir, menyebabkan 115 kematian setiap hari dan kerugian harian lebih dari US$202 juta. Selain itu berdasarkan perhitungan dari beberapa ahli, biaya penanganan kerusakan akibat perubahan iklim diperkirakan lebih tinggi dari biaya penanganan masalah krisis global di 2008. Biaya penanganan kerusakan akibat cuaca ekstrem sudah mencapai US$1,52 triliun dalam 20 tahun terakhir.
Yang paling terbaru pada bulan April tahun ini gelombang panas ekstrim terjadi di wilayah Asia yang berdampak besar pada salah satu negara pengerak ekonomi dunia yaitu negara India. Gelombang Panas yang mencapai 40 derajat Celcius mengakibatkan 13 orang meninggal dan puluhan orang lainnya harus dirawat di rumah sakit di India. Selain itu, sekitar 75 persen pekerja atau sekitar 380 juta orang dilaporkan mengalami stres akibat cuaca panas yang sangat mematikan yang berimbas pada kegiatan ekonomi negara tersebut. Dalam studi University of Cambridge diperkirakan akan ada penurunan kapasitas kerja di luar ruangan sebesar 15% pada siang hari karena panas ekstrem pada 2050 di India. Dengan demikian peningkatan panas yang membuat pekerjaan luar ruangan berkurang diprediksi memangkas 2,8-8,7% dari produk domestik bruto (PDB) India.
Mersepon perubahan iklim yang semakin ekstrim. Beberagai upaya telah dilakukan oleh penduduk dunia. PBB melalui United Nation Fremwork Convention on Climate - Change (UNFCCC). telah melakukan sejumlah agenda konvensi yang membahas masalah perubahan iklim dunia. Berbagai kesepakatan Internasional juga telah ditetapkan dalam upaya menyelamatkan bumi. Mulai dari Protokol Kyoto tahun 1992 hingga yang terakhir Perjajian Paris 2016. Yang dimana isi kesepakatan dari perjanjian - perjanjian tersebut menyangkut pembatasan emisi hingga pendanaan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Dilansir dari situs UNFCCC, ada 4 poin penting dalam Perjanjian Paris yaitu :
- Upaya pembatasan kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5 Celcius, dan di bawah 2 Celcius untuk tingkat praindustri.
- Mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas lainnya untuk meminimalkan emisi gas serta mencapai target net zero emission
- Seluruh negara wajib memiliki dan menetapkan target pengurangan emisinya. dan ditinjau tiap lima tahun sekali, agar meningkatkan ambisi mengatasi perubahan iklim.
- Negara maju membantu negara berkembang dalam hal pendanaan iklim dan mendukung implementasi energi terbarukan yang lebih efektif, serta beradaptasi dengan perubahan iklim.
Dalam upaya berbagai negara melaksanakan Perjanjian Paris dan melihat berapa eratnya kaitan antara perubahan iklim terhadap perkembangan ekonomi dunia. Para ahli ekonom dan lembaga riset dunia terus mengembangkan gagasan tentang Green Economy atau Ekonomi Hijau. Green Economy merupakan upaya menghadirkan kegiatan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Green Economy dianggap sebagai trobosan dalam upaya menjaga peradaban manusia dari acaman perubahan iklim dengan mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Secara sederhana United Nations Environment Program (UNEP) mediskipsikan green economy sebagai kegiatan ekonomi yang rendah karbon, menghemat sumber daya, dan inklusif secara sosial.
Istilah Green Economy pertama kali muncul pada tahun 1989 yang dikemukakan oleh beberapa ahli ekonom dalam laporan berjudul "Blueprint for a Green Economic" yang ditujukan pada pemerintah Inggris. Laporan tersebut memberi saran kepada pemerintah Inggris bahwa pembangunan berkelanjutan dan dampak dari pembangunan berkelanjutan berfungsi sebagai pengukuran kemajuan ekonomi, penilaian proyek, dan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Pada tahun 2008, istilah Green Economy kembali dimunculkan dalam diskusi kebijakan terhadap berbagai krisis global. Dalam diskusi tersebut UNEP menyampaikan gagasan tentang "stimulus hijau" dan penentuan area spesifik dimana investasi publik skala besar dapat memulai "ekonomi hijau." Dalam perjalanannya negara - negara maju kemudian berupaya menerapkan Green Economy dengan mewujudkan industri yang lebih ramah lingkungan, menghadirkan sumber - sumber energi terbarukan, menciptakan moda transportasi yang rendah emisi serta produk - produk rumah tangga lainnya yang lebih ecofrindly
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara tropis yang terletak digaris khatulistiwa. Indonesia mendapat dampak perubahan iklim yang cukup memprihatinkan. Anomali cuaca yang timbul akibat perubahan iklim telah menganggu produksi pada sektor pertanian dan perkebunan. Ratusan hektar lahan gagal panen akibat terendam banjir dan terdampak dari siklus hujan yang tak menentu. Banjir, badai dan longsor juga menghambat dan meningkatkan biaya pada rantai distribusi di berbagai wilayah di Indonesia. Kenaikan air laut atau rop di wilayah pesisir juga telah merusak berbagai lahan pertanian, infrastruktur dan properti milik warga.
Dampak ekonomi yang lebih kompleks disampaikan oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Beliau mengatakan secara bertahap, tekanan Inflasi dapat timbul akibat gangguan rantai pasokan Nasional dan Internasional akibat perubahan cuaca seperti kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi mengakibatkan kerugian finansial yang besar. Indonesia diperkirakan berpotensi memiliki kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai 112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2023. Selain resiko fisik yang timbul dari perubahan iklim yang telah disebutkan.
Dampak ekonomi lain yang dirasakan oleh negara Indonesia adalah resiko transisi. Pergeseran pola produksi pada negara maju ke arah Green Economy telah memberikan tekanan pada industri Indonesia yang belum ramah lingkungan. Berbagai aturan dan standar produk ramah lingkungan dari negara maju menjadi tantangan bagi komuditas ekpor Indonesia dalam merebut pasar global. Selain itu trend green economy yang semakin masif telah membuat nilai aset - aset yang tidak ramah lingkungan di Indonesia menjadi rendah di mata Investor Asing.
Ide tentang Ekonomi Hijau juga menjadi opsi Pemerintah Indonesia dalam upaya melawan perubahan Iklim. Berbagai Kebijakan pemerintah telah dilakukan untuk mewujudkan Ekonomi Hijau di Indonesia, Kebijakan tersebut berwujud regulasi maupun stimulasi terhadap dunia usaha. Pemerintah Indonesia sendiri memiliki target net zero emission atau nol emisi karbon pada tahun 2060. Program tersebut membutuhkan dana yang cukup besar yaitu Rp 28.223 triliun Program tersebut berfokus menciptakan ekosistem ekonomi hijau di Indonesia. Industri Transportasi ramah lingkungan dan pengembangan energi terbarukan menjadi fokus utama Pemerintah Indonesia. Hal ini membuat kebutuhan dana terbesar berasal dari sektor transportasi dan energi yang mencapai Rp26.602 triliun.