Lihat ke Halaman Asli

Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben; Merenungi Sejarah! (setelah membaca Kompas, 14/10)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bayi berusia satu tahun bernama Yusuf itu menangis, tergeletak di areal pemakaman. Tubuhnya dikerubungi semut. Ia ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya..

Sayup-sayup, kalimat itulah yang aku baca dari Kompas, 14 Oktober 2012. Judul yang terlihat jelas di halaman utama. Tak perlu memicingkan mata. Atau memalingkan muka ke Palestina, bahkan Amerika, “KASIIH SAYANG BAGI YANG TERBUANG”. Sengaja aku tulis judul tersebut dengan cetak tebal. Agar Anda  tak lagi bebal. Sengaja aku tulis kapital, kelak Anda adalah orang yang tak menjadi tumbal  berikutnya. Sebab, anda juga dapat dikatakan “produk” yang gagal. Sengaja aku tulis di sini. Agar kalian sangggup membaca nurani.

Aku tulis coretan ini dengan di temani langit gelap, berkabut.  Meski aku sendiri sangsi akan kehadiran gerimis sekalipun. Usai menyusuri jalanan malam. Jalanan yang tiada merdeka akan warta sunyi. Selalu ada kenormalitasan di dalamnya. Selalu ada dominasi di dalamnya. Dan selalu ada yang tersingkir dari liang pastoral, terusir dari pergulatan antara debu dan batu-batu.  Kubangan lumpur menggembur, siap membenamkan siapa saja yang abnormal, bahkan yang papa dan binal. Hidup sama saja bertaut jurang maut.

Yusuf, lahir dalam keadaan Celebral Plassy, adalah salah satu potret dalam baying-bayang kuasa kenormalitasan. Dimana yang “tercipta” tidak sama, dalam bentuk lain, yang berbeda atas masyarakat dominan, ia adalah yang “cacat’. Tak layak mendapat tempat. Tentu saja, banyak yusuf-yusuf lain yang bertebaran di negeri yang “kaya raya”, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. bertuhankan Yang Maha Esa. Berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, akankah dengan air mata layak aku katakan itu sekadar retorika?

Ini bukan sembarang air mata yang luruh bersamaan secangkir kopi. Meski bukan tongkrongan di starbucks, Mc Donlad, ataupun KFC, sebab aku tak pernah singgah di sini. Tongkronganku hanyalah di angkringan atau bujo yang tiada bernama. Yang aku ingat, tempat itu berteduh dibawah pohon bungur. Merindukanku akan sosok ibu yang senantiasa bertafakkur. Ada harga tersendiri dibandingkan kemiskinan negeri ini. kita memang miskin, bahkan tubuh dan nama yang melekat pada diriku sendiri juga miskin. Namun, bukan berarti setiap air mata adalah sia-sia. Maka aku kembali teringat sore itu. suatu saat senja menunggu. Bersama orang-orang hebat, dalam pandanganku…

Sore masih memperlihatkan mataharinya yang beranjak kemuning jingga kecerahan ketika kami berteduh di bawah pohon sawo kecik. Tak jauh dari Rektorat UGM. tangan kananku memegang secarik kertas dengan judul yang mencolok “(Outline) Proposal Launching Forum Mahasiswa Difabel dan Partners UGM dan Seminar Nasional dengan Tema ‘Menggugat Peran Mahasiswa dalam Isu Pendidikan Difabel’”.

Aku tidak sendiri, ada lima orang hebat yang turut hadir di tengah segala keterbatasan dan kepahitan yang menghiasi dunia yang kecil dan marginal ini. Karim, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang luar biasa hebat. Ia hanya memiliki tiga jari dalam keadaan tak sempurna di masing-masing kedua tangannya. Untuk menulis-pun ia menggunakan tangan kiri. Kedua tangan yang tak proposional dibandingkan dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia, dengan segala keterbatasan dan kepercayaan diriannya, sanggup lolos di UGM lewat jalur undangan. Salut!!

Yang lebih membuatku “bangga”, ia senantiasa sanggup masuk 10 besar di SMA umum, tempat di mana semuanya adalah anak-anak normal.

Ada juga Havist, penyandang tuna daksa pada kakinya. Terharu sekali aku mendengar kisahnya. Bagaimana perjuangannya mengikuti perkuliahan di Juruan Ilmu Komputer UGM. juga keikhlasan teman-temannya yang rela menggendong Havist menaiki dan menuruni tangga. Tidak ada lift di kampusnya, karena sebagian besar gedung-gedung UGM yang memiliki lift adalah gedung yang relaitf baru. Sedangkan gedung perkuliahannya adalah gedung yang sudah berumur. Maka tak ada jalan lain selain ia harus menerima apa adanya.

Lalu aku. Setidaknya aku tak perlu mengisahkan lagi tentangku. Bukan karena aku adalah artis, atau apa.sebab aku juga bukan siapa-siapa. aku bagian dari mereka. Yang pasti, Anda mungkin sudah tahu tentangku, namun yang perlu Anda tahu adalah mereka yang selain aku. Mereka yang direhabilitasi selayaknya orang yang mengidap penyakit jiwa. Mereka yang dipasung. Mereka yang dibuang. Mereka yang ditolak sekolah ,ditolak masuk universitas, ditolak kerja karena tidak memenuhi kriteria “SEHAT JASMANI DAN ROHANI!”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline