Salah satu sindiran yang kerap disampaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama adalah soal gaya hidup pejabat Ibu Kota. Dari merek mobil, jam tangan, tas, hingga selera berlibur. Serba wah layaknya pengusaha kaya.
”Dulu, ada lho yang suka pasang foto anaknya, kuliah di luar negeri. Tenteng tas berharga puluhan juta. Saya tahu itu karena diunggah di medsos (media sosial). Entah dari mana duitnya, tetapi kalau dihitung dari gaji, jelas tak cukup,” kata Basuki.
[caption caption="Gubernur Basuki Tjahaja Purnama melantik 115 pejabat eselon III dan IV di Balai Kota Jakarta, Jumat (5/2/2016)"][/caption]Jumat (5/2/2016) siang, di Balai Agung di Kompleks Balai Kota Jakarta, Basuki mengulang sindiran itu di depan 115 pejabat eselon III dan IV. Memang situasinya sudah tidak seperti dulu, tetapi sindiran itu seperti ”menu wajib” yang disajikan Basuki pada prosesi pelantikan pejabat DKI Jakarta.
Barangkali bahasan soal asesoris seperti jam tangan, perhiasan, dan tas jinjing dulu bukan hal penting. Tapi sejak era Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, lalu berlanjut ke Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, barang-barang itu jadi subyek sindiran. Apalagi yang berkategori mewah. Para pegawai negeri sipil pemakaianya jadi malu sendiri.
Jika dulu barang-barang mewah itu lekat sebagai simbol dan penada status, satu per satu lenyap, jarang terlihat berseliweran di Balai Kota Jakarta dan kantor-kantor instansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka tidak lagi memakainya, setidaknya di lingkungan kerja, karena sindiran Jokowi-Basuki.
Sebenarnya bukan soal boleh tidak boleh. Jokowi-Basuki tak peduli anak buahnya mengenakan barang-barang mewah. ”Asal kalian bisa membuktikan dari mana asalnya. Bukan hasil gratifikasi atau korupsi. Saya ingin pembuktian (harta secara) terbalik,” kata Basuki.
Bukan hanya asesoris yang dikenakan, sebagian PNS DKI dulu terkenal glamor. Tunggangannya mobil berharga miliaran rupiah, demikian pula rumahnya, dan berliburnya ke luar negeri. Padahal, statusnya masih pejabat eselon III. Wajar ketika lingkungan mengasumsinya sebagai hasil korupsi.
[caption caption="Gubernur Basuki Tjahaja Purnama melantik 115 pejabat eselon III dan IV di Balai Kota Jakarta, Jumat (5/2/2016)"]
[/caption]
Gaji dan tunjangan kinerja daerah (TKD) PNS DKI memang didongkrak beberapa kali lipat di era Basuki. Gaji pokok staf di bagian pelayanan, misalnya, sebenarnya hanya Rp 1,4 juta per bulan. Selain gaji pokok, dia bisa membawa pulang TKD hingga Rp 8 juta per bulan. Total maksimal gaji yang bisa dia bawa pulang Rp 9,59 juta per bulan. Seorang staf di bidang administrasi bisa membawa pulang TKD hingga Rp 15,2 juta per bulan, sementara tenaga teknis bisa memperoleh Rp 19,7 juta per bulan. Syaratnya, dia bisa memenuhi 100 persen target kinerja.
Tunjangan untuk pejabat lebih tinggi lagi. Lurah, misalnya, bisa membawa pulang TKD hingga Rp 26,2 juta per bulan, di luar gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan transportasi. Adapun camat bisa memperoleh total gaji (take home pay) hingga Rp 44,2 juta per bulan, kepala dinas Rp 75,6 juta per bulan, dan kepala badan hingga Rp 78,7 juta per bulan.
Standar itu diklaim tertinggi bahkan dibandingkan strata yang sama di instansi pemerintah pusat. Oleh karena itu, kebijakan remunerasi Pemprov DKI sempat menuai kontroversi, membuat iri instansi di lingkungan kementerian dan daerah lain. Namun, Basuki keukeuh. Sebab itu adalah strategi menangkis korupsi. Ancamannya, ”Jika masih berani (korupsi), saya stafkan! Bahkan pecat sebagai PNS.”