Lihat ke Halaman Asli

Perahu Retak

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Fragmen tiga

Pada mulanya hanya kaca lemari yang pecah—yang hingga kini aku tak tahu sebabnya. Kemudian dukun, serta seringnya bibi pulang ke rumah ibunya. Ternyata bukan hanya di situ saja. Sebab akhirnya aku mesti sering di rumah sendirian, tidur di lantai sebagaimana ketika mereka masih ada. Yang berbeda, sekarang aku mesti masak sendiri. Mencuci sendiri dan mengurus “rumah” (yang dimaksud di sini adalah balai desa) itu sendirian.

Sekarang aku kelas tiga SD. Tentu senang naik kelas, apalagi nilai pelajaranku hampir selalu di atas teman-teman. Tentu saja, teman-temanku jarang belajar. Mereka kerjanya cuma main. Apalagi kalau bulan sedang purnama. Mereka akan keluar main petak umpet, gobak sodor, dan bercanda-canda. Biasanya mereka bermain di jalan depan rumahku. Aku mendengar mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa.

Sedang aku di dalam rumah. Belajar! Ditemani lampu minyak yang nyalanya memedihkan mata. Biasanya habis shalat isya sampai jam sembilan aku belajar. Waktu serasa panjang pada saat-saat seperti itu. Dalam waktu hampir dua jam itu aku hanya menatap buku yang telah terbuka. Dalam kepalaku membayang teman-teman di luar yang sedang bermain dan tertawa-tawa. Aku memang tak boleh main atau menonton televisi kalau bukan malam minggu. Dan itu adalah peraturan, aku harus patuh. Jika tidak aku akan dimarahi.

Aku sering merasakan betapa sepi tanpa bibi. Ia telah pulang ke rumah orang tuanya. Aku tak akan bisa bertemu dengannya lagi. Tinggal aku dan paman yang di “rumah” itu. Paman juga sering pergi, entah untuk urusan apa aku tak tahu. Yang jelas banyak urusannya di luar rumah. Kadang malah tidak pulang dalam beberapa hari. Biasanya kalau tidak pulang aku disuruh paman minta anak-anak kampungku untuk tidur di rumah. Kami, aku dan dua kadang tiga temanku tidur di lantai. Menggelar tikar seperti biasa.

Aku mengurus rumah sendirian. Itu sudah biasa aku lakukan dulu. Ketika paman dan bibi masih menjadi suami istri. Namun, kini tetap ada yang berbeda. Aku merasakan hal yang lain. Kadang-kadang menjelang maghrib aku teringat bibiku. Aku ingin diajaknya nonton lagi. Aku ingin ia menyuruhku mengajak paman nonton film di bioskop. Tapi semua kerinduan dan keinginan itu toh tak terbayar. Aku seolah-olah mesti hidup sendirian.

Aku mesti masak sendiri untuk makan. Biasanya kulakukan pagi hari sebelum berangkat sekolah. Lalu sore sehabis ashar, sebelum maghrib tiba. Nasi putih dan tempe goreng cukuplah untuk makan tiap pagi. Aku baru bisa masak seperti itu. Dan waktu selanjutnya, aku diajari masak sayur oleh ibuku ketika aku pulang. Sayur pertama kali adalah oseng kacang panjang. Mudah. Karena tanpa santan, dan bumbunya juga cuma bawang, garam, cabe, dan penyedap. Untuk selanjutnya aku mulai bisa masak sayuran lain, meski tetap sayur tanpa santan. Mulai dari bayam, oseng tempe atau tahu, serta mi dengan lauk itu-itu saja. Tahu atau tempe goreng.

Pernah suatu kali paman tidak pulang dalam beberapa hari. Kalau tidak salah hampir seminggu. Dalam beberapa hari itu aku di rumah sendirian. Kadang beberapa teman-teman sebayaku datang dan menginap. Kadang juga tidak ada yang datang. Oleh paman aku diberi uang beberapa ribu untuk belanja. Uang itu ditaruhnya di dalam kotak Yazis. Aku tidak tahu kalau uang itu memang untuk belanja. Sebab paman hanya mengatakan, “Kalau mau belanja uangnya di sini”. Aku tetap mengira itu adalah uang Yazis. Uang yang dikumpulkan dari penduduk. Karenanya aku hanya membelanjakan uang itu sedikit. Dan ketika paman pulang, ia mengatakan pada tetangga kalau aku anaknya irit.

Suatu hari pada saat pamanku pergi aku mengajak teman-temanku ke ladang. Ladang itu ditanami petai dan jeruk purut. Aku senang. Jeruk purut itu sudah banyak yang berbuah. Banyak sekali. Sampai-sampai batangnya melengkung karena tidak kuat menyangga. Aku mulai memetik jeruk itu. satu, dua, tiga, hingga banyak sekali karena saking senangnya. Aku tidak tahu kalau jeruk itu untuk bumbu masak. Bukan untuk dimakan atau dibuat minuman. Teman-temanku juga ikut memetik. Seolah mereka memanen tanaman sendiri.

Aku pulang dengan membawa banyak buah jeruk purut. Lebih dari sepuluh buah kira-kira. Tapi aku bingung mau kuapakan buah itu. Karena ternyata rasanya aneh ketika kubuat minuman. Rasanya tidak enak. Lebih menyedihkan lagi aku dimarahi habis-habisan oleh paman yang kebetulan pulang hari itu juga. “Goblok! Mau diapakan jeruk sebanyak itu?” Aku diam. Tak bisa bersuara sedikit pun. Aku tak berani memandang wajahnya. Apalagi menjawab pertanyaannya. Mataku yang berair menatap lantai. Kali ini aku beruntung telingaku tidak dijewernya. Meski omelannya tidak rampung-rampung.

Aku tidak tahu. Aku mengira itu jeruk yang bisa dibuat minuman. Lagi pula aku juga ingin menunjukkan pada paman kalau tanamannya telah berbuah. Aku akan bangga jika melakukannya. Tapi aku malah mendapatkan kemarahan. Untung teman-temanku sudah pergi sehingga aku tidak malu dan merasa bersalah jika mereka ikut dimarahi. Esoknya buah jeruk itu dibawa nenek ke pasar.

Musim kemarau tiba. Banyak layang-layang. Kemarau memang musim layang-layang. Teman-temanku membuatnya sendiri. Meraut bambu, menimbang dan mengukur panjang pendeknya, lalu membalut kerangkanya dengan plastik hitam. Mereka pintar membuat layang-layang. Kalau sore sudah dipastikan akan banyak terlihat banyak layang-layang di langit. Ada yang hitam, ada yang loreng hitam putih. Ekornya panjang dan melambai-lambai. Aku kepingin bermain layang-layang. Sayang, aku tak bisa membuat sendiri.

Aku senang sekali ketika pamanku pulang dari kota membeli layang-layang. Lengkap dengan benangnya. Benang yang berbeda dari milik teman-temanku. Benang kami lebih kasar dan bukan benang jahit seperti milik teman-teman. Sore harinya kami menerbangkan layang-layang itu di depan rumah di pinggir jalan raya. Kami adu layang-layang kami dengan yang lain. Kami menang. Aku tersenyum-senyum.

Malam hari aku dan teman-teman masih mengaji seperti biasa di “rumah”. Tanpa bibi aku langsung diajar ngaji oleh paman. Kepalaku tidak akan dipukul lagi dengan sisir lagi seperti yang bibi lakukan. Ternyata paman lebih galak. Ia akan membentakku ketika aku salah baca. “Matanya itu di mana, hah!” Aku mengulangi bacaan itu. Jika benar maka aku selamat. Kalau masih salah ia akan membentak lagi. Sering juga ia akan menjewer lagi. Atau menarik rambut pelipisku. Rasanya sangat perih. Aku sudah tidak bisa berpikir. Aku tak lagi bisa mengeja bacaan itu. Tenggorokanku sakit dan mulutku susah bersuara. Huruf-huruf Arab itu berubah menjadi dua dalam pandanganku. Mataku basah. Untung saja aku sudah terbiasa. Sehingga aku bisa menahan diri untuk tidak menangis. Betapa malunya menangis di depan orang banyak. Di antara teman-temanku.

Satu per satu barang yang bibi hilang. Pakaian, buku-buku yang ada di lemari, sepatu dan barang-barang lain. Mungkin diambil sewaktu aku masuk sekolah. Sebab aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Terakhir sepeda motor yang biasa dipakai paman juga diambilnya. Memang paman sendiri pernah bilang kalau sepeda itu milik bibi. Waktu-waktu selanjutnya aku tetap sendiri. Keluarga kami tidak lagi utuh. [*]

Jogja, 09-11-2008

Sumber ilustrasi:aqu4.blogspot.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline