Pertanggal 9 Juni 2017, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pro-kontra tidak berbendung atas hadirnya peraturan tersebut. Media sendiri menyebutnya "full day school", meski istilah itu tidak tercantum dalam butir peraturan. Regulasi ini mengubah aturan jam belajar sekolah dari enam hari menjadi lima hari. Jumlah jam belajar bertambah dua jam sehari. Rencanya regulasi ini segera diberlakukan pada tahun ajaran 2017/2018. Namun hingga sekarang, belum juga dilaksanakan.
Menilik ke belakang, dua tahun silam, Kemdikbud juga mengesahkan Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015 mengenai PPK (Penguatan Pendidikan Karakter). Pada peraturan tersebut terdapat lima nilai utama yang hendak ditanamkan, yakni religiusitas, nasionalisme, kegotongroyongan, kemandirian, dan integritas. Pada dasarnya, peraturan tentang full day school berupaya melengkapi peraturan tentang penguatan pendidikan karakter. Caranya melalui jam belajar yang lebih lama yaitu jam sehari atau 40 jam seminggu.
Mungkinkah ini penyebabnya sehingga pemerintah dalam waktu bersamaan juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Guru? Poin peraturan ini menyebutkan bahwa beban mengajar guru harus dianggap sama dengan ASN (Aparatur Sipil Negara) yang lain. Sebelumnya guru memiliki beban kewajiban 24 jam mengajar. Dengan Permen Nomor 19 tentang Guru, jam mengajar menjadi 40 jam atau 37,5 jam dikurangi waktu istirahat. Pembangunan pendidikan karakter yang dimulai dari sekolah dihubungkan dengan kuantitas jam pelajaran yang semakin tinggi. Untuk mewujudkan pendidikan karakter, guru dan siswa harus sama-sama tinggal lebih lama di sekolah. Entah darimana datangnya logika kurang jelas ini.
Perkembangannya kemudian, kebijakan full day schoolini tidak melaju "mulus" hingga jelang Hari Pertama Sekolah Senin hari ini (17/7). Bahkan sudah dimulai pekan lalu di beberapa tempat seperti di Jakarta dan kota-kota lainnya.
Beberapa polemik muncul mengenai wacana full day school ini. Misalnya bagi daerah-daerah yang memberlakukan aktivitas Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah ini ialah aktivitas pembelajaran agama sekaligus karakter religius yang harus diikuti siang hari hingga sore selepas anak-anak sekolah. Tentu saja, pemberlakukan sekolah sehari penuh akan menghilangkan tradisi baik dan bentuk keragaman praktik pendidikan yang sudah lama mengakar di Indonesia.
Belum lagi kondisi geografi dan sosial di banyak tempat sulit. Di sudut-sudut pelosok Indonesia, banyak anak sekolah yang mencapai sekolah dengan sejam berjalan kaki atau bersampan mengatasi rintangan alam. Anak sekolah yang tidak bisa tidak setiap hari harus masuk hutan berkebun menemani orang tuanya. Masih banyak lagi. Penyeragaman ini hampir mustahil karena bervariasinya faktor penghambat. Penerapan kaku empat puluh jam yang nir-toleransi seperti itu, sepertinya tidak bakal memenuhi substansi yang diinginkan oleh pemerintah sendiri: bangunan karakter siswa yang solid dan mantap.
Masih banyak alasan dikemukakan publik mengenai kebijakan full day school ini. Salah satunya, Doni Koesoema, pegiat pendidikan. Dalam Opini di Kompas (30/6) ia menyebutkan sekurang-kurangnya ada sepuluh hal yang menjadi polemik lima hari sekolah. Tidak hanya memberikan dampak tidak baik pada siswa, tapi juga merangkum spektrum lebih luas, termasuk guru, dan kontradiksinya terhadap aturan perundangan lain.
Menunggu Presiden
Pada akhirnya setelah gonjang ganjing selama beberapa waktu, kebijakan lima hari sekolah akhinya ditunda menunggu kenaikan level legal formilnya menjadi Peraturan Presiden. Meski demikian, PPK tetap disosialisasikan oleh pihak kementerian sebab disinilah kunci aturan sekolah lima hari berpijak.
Walaupun begitu, menurut Hamid Muhammad, Dirjen Dikdasmen, menurut rekaman data yang terdaftar, sudah sekitar 6.600 sekolah baik negeri maupun swasta yang mengimplementasi gagasan sekolah Senin hingga Jumat untuk menguatkan kebijakan PPK. Bahkan Menteri sudah menginstruksikan agar dibentuk Tim Asistensi yang terjun ke sekolah-sekolah tersebut dalam mengamankan manajemen dan memperkuat koordinasi penyelenggaraannya pada tiap satuan pendidikan.