Lihat ke Halaman Asli

Mujahid Zulfadli AR

terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

[Resensi Buku] Kisah Penghabisan Dilan-Milea

Diperbarui: 6 Februari 2017   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.koko-nata.net

Satu alasan jelas –dan sungguh-sungguh- mengapa saya begitu ingin melanjutkan petualangan Dilan-Milea setelah dua edisi sebelumnya. Karena saya tahu, buku ini tidak akan dicecar dialog romantik dan tidak akan menyebar unsur-unsur melankolik yang tidak perlu. Untunglah, saya benar.

Buku “Suara Dari Dilan” ini tidak dibawakan seperti kisah cinta lain yang banyak bertebaran dalam berbagai publikasi fiksi percintaan remaja. Buku ini unik sendiri. Tidak disajikan dalam karakter remaja labil dengan emosi meluap-luap. Tapi, kisah ini, diceritakan, ketika Dilan-Milea sudah mencapai usia dewasa dan telah menemukan pasangannya masing-masing (wah, bocor soal).

Meski ada kesan tragis dan klimaks, tapi tidak dimaksudkan mencuri menggaet perhatian. Jika ingin menemukan keseruannya, ada di sepanjang halaman buku ini. Pengarangnya, Pidi Baiq, juga tidak semena-mena dan sporadis mengetengahkan konflik. Bahkan dihindari. Jika ada, hal itu harus jadi bumbu yang musti tuntas terjawab, dan sekaligus memberi pelajaran bagi pembaca Dilan-Milea.

Kesan percintaan sepasang remaja ditontonkan dalam balutan sikap dewasa masing-masing pihak untuk tetap saling menghormati. Saling merindukan, sebagai seorang yang sama-sama menginginkan kebahagiaan bagi masing-masing mereka.

Buku ini sangat ringan. Dalam arti sebenarnya. Seperti membaca satu judul komik berseri. Memantik kita untuk membaca lebih banyak lagi membaca. Berpindah dari satu buku ke buku yang lain. Bahasa tuturnya mengalir. Dialognya lancar dan sumpah! asli pendek-pendek. Seperti baca majalah cerita-cerita Bobo atau serial Enyd Blyton. Ringkas dan lengkap kalimatnya.

Jika buku kedua dibawakan dengan sudut pandang Milea Adnan Hussain (Milea), edisi ketiga ini disajikan melalui kacamata Dilan. Penulisnya cukup apik membawakan kisah ini dalam rangkaian yang saling menjalin.

Jadi, seperti mengenal dua isi kepala sekaligus. Beberapa kisah sebelumnya yang tidak jelas oleh Milea diterangkan ulang oleh Dilan. Tentu dengan pemaknaan dan konfirmasinya sendiri. Mengajarkan kita penting untuk saling menjaga komunikasi. Entah salah satu atua kedua orang yang ingin menjaga hubungan.

Misalnya, tentang teman-temannya Dilan di geng motor. Dijelaskan satu-satu di buku ini. Sehingga, sisi ini yang membuat buku ini jadi lebih kaya dan pastinya: layak dibaca. Pembaca tidak hanya mendapatkan pandangan dari Milea tentang Anhar yang kacau, tapi juga sudut pandang Dilan melihat Anhar yang ceria, humanis, dan bersahabat.

Buku ini juga tentang persahabatan yang baik. Mereka-mereka yang lahir di sepanjang tahun 80 an (awal tengah akhir) pasti sedang/sudah melewati yang dialami Dilan muda dan dewasa (ketika cerita ini dituliskan). Tentang solidaritas komunal yang tumbuh di kelompok-kelompok anak dan remaja. Hingga sekarang juga begitu. Ini hal yang wajar ketika manusia akan selalu berusaha mempertahankan identitas kelompoknya.

Contohnya, Dilan yang terpaksa berbohong pada Milea untuk berjanji tidak akan menyerang geng motor yang telah membunuh kawannya, Akew.

Bila diperhatikan, Dilan mengadakan dua lapis pengorbanan yang patut kita tiru. Setidaknya, akan efektif di kalangan anak-anak muda. Pertama, Dilan menolak permintaan terakhir Milea untuk tidak bergabung lagi dengan geng motor. Alasannya, kawan mereka, satu orang telah mati. Milea ingin Dilan berhenti, jika tidak, Milea akan memutuskan hubungan. Dilan menyanyangi Milea sebagaimana ia menyayangi keluarganya. Sehingga, daripada melibatkan Milea, ia memilih Milea yang harus pergi agar terhindar dari masalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline