Lihat ke Halaman Asli

Mujahid Zulfadli AR

terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

Denyut Pasar Rakyat Mambuni-buni, Fakfak Papua Barat

Diperbarui: 27 Januari 2017   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang warga menjajakan Ikan Asap (dok. pribadi)

If you want to seed a place with activity, put out food | William H. Whyte.

Di antara pasar tradisional yang pernah saya datangi, ada satu pasar yang menyimpan kesan mendalam. Pasar Mambuni-Buni. Letaknya di Distrik Kokas Kabupaten Fakfak Papua Barat. Distrik yang sebagian besar wilayahnya daerah pesisir, pulau-pulau kecil, lereng gunung, dan hulu sungai.

Kala itu, saya menetap di Distrik Kramongmongga. Sebuah distrik di pegunungan Fakfak. Namun, distrik yang lumayan besar itu tidak lagi memiliki tempat bertransaksi representatif. Dulu ada namanya Pasar Pendek, karena cuma sepenggal bidang yang tidak terlalu luas di daerah lembahan. Tapi karena letaknya terlalu jauh, berjalan kaki menuruni gunung menuju lembah dua kilo lebih, maka Pasar Pendek tidak difungsikan lagi.

Konon katanya, Pasar Pendek menerapkan sistem barter seratus persen dalam setiap transaksi. Hal ini diaminkan oleh masyarakat di sana.

Maka, beralihlah warga distrik menuju Kampung Mambuni-Buni di mana terletak pasar dengan nama sama. Sebab pasar inilah merupakan satu-satunya tempat kegiatan tukar-menukar terdekat. Sistemnya sama, barter. Meski ada satu dua warga yang bertransaksi menggunakan uang.

Keuntungannya, untuk menuju pasar ini warga tidak perlu berjalan kaki berjam-jam. Hanya perlu naik motor atau sewa taksi (angkot) sekitar setengah jam menuruni gunung. Kalau dari Kota Fakfak (Terminal Tambaruni Distrik Fakfak Tengah), pasar ini dapat ditempuh dua jam naik angkot.

Letak pasar pas berada di bahu jalan, di bagian hulu sungai. Di mana para pedagang dan masyarakat menambatkan perahunya. Memanjang hingga 10 hingga 15 meter. Meski jalanan ini sebenarnya lintas distrik bahkan lintas kabupaten (Kabupaten Bintuni via darat), tapi begitulah keadaannya. Kebutuhan warga untuk saling memenuhi satu sama lain sangatlah besar. Tak ada tempat, jalanan pun jadi.

Pedagang pasar dari Distrik Kokas jualan pakaian, kebutuhan pokok sehari-hari, sampai kue-kue. Namun yang utama hasil laut. Orang-orang kampung Distrik Kramongmongga menyediakan keladi, bayam, kangkung, bawang, pinang, sirih, tembakau negeri (baca: lokal), dan banyak lagi. Praktis, ketika pasar ini mulai riuh, orang-orang tidak bisa melewati jalan yang sebenarnya jalan umum. Pasar ini beroperasi hanya sekali seminggu. Ya, hari Sabtu. Hari yang begitu istimewa bagi masyarakat di dua distrik.

Pasar Mambuni-Buni ini layaknya pasar dadakan atau pasar tumpah istilah yang kita kenal. Di pasar inilah sebagian orang gunung dan laut berjumpa. Ikan ditukar dengan bayam dan sayur-sayuran, sirih-pinang-tembakau dibarter dengan kerang-kerangan, cabe rawit dan bawang ditaksir dengan kepiting, macam-macam. Sederhana saja. Tapi itulah sejatinya kebutuhan. Bukan ketamakan.

Nah, ada satu paket barang yang wajib dibeli, baik masyarakat dari gunung maupun dari laut. 3K: Kahom, Keenan, Kabok (bahasa Suku Iha) yang artinya pinang, sirih, dan kapur untuk digunakan menyirih sehari-hari. Biasa ditempatkan dalam lopa-lopa (dompet kecil yang terbuat dari anyaman bambu hutan). Masyarakat Fakfak pada umumnya tidak bisa lepas dari paket lengkap ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline