Bagi yang punya smartphone dan banyak berinteraksi online, pasti tahu tokoh setengah fantasi setengah satir: Mukidi. Hampir di semua grup yang saya miliki, bertebaran cerita-cerita humor mengenai Mukidi. Dari semua cerita yang sudah saya baca hingga detik ini, watak Mukidi sepertinya merupakan kombinasi Abu Nuwas si cerdik pandai dan karakter ‘ndeso’ ala-ala Indonesia yang sengaja dilekatkan pada dirinya.
Cerita-cerita ini terdiri dari bermacam-macam versi. Ada juga cerita lain yang bukan Mukidi lalu dibolak-balik dan dimodifikasi sana-sini demi menjaga rasa humor terkait si tokoh sentral. Ada yang berkisah tentang kebobrokan Mukidi, ada yang bertutur tentang kepiawaiannya menyampaikan pesan sosial dalam humor. Tergantung siapa yang ingin disindir.
Dari yang benar-benar mengocok perut hingga cerita-cerita yang akhir-akhir ini (entah mengapa semakin menyerempet ke hal-hal yang tabu) berseliweran seminggu terakhir ini di ruang maya. Meski berbau guyon seks, orang-orang masih memakluminya dan tertawa karenanya. Mengapa? Karena ia adalah seorang Mukidi. Mukidi maneh.
Di grup-grup tertentu yang saya miliki, diskusi menjadi tidak fokus karena beberapa anggota ketagihan men-‘diseminasikan’ Mukidi di antara waktu-waktu yang serius. Kisah viral Mukidi selama beberapa waktu ini begitu digemari dan digandrungi banyak orang. Sulit rasanya terlepas dari Mukidi. Seperti pesan yang berantai, yang pada ahirnya, orang-orang akan mengetahuinya.
Karakter masyarakat kita, memang suka ‘guyub’. Oleh karenanya pertemanan kolektif dalam sebuah grup di sosial media juga dilihat dalam kerangka menyemarakkan proses guyub itu sendiri.
Di koran, ada yang menulis bahwa gejala Mukidi adalah perwujudan keresahan kita terhadap ketidajelasan tentang situasi negeri ini. Mukidi juga diakui mampu mengisi dan menyelipkan humor di tengah-tengah kebosanan masyarakat kita terhadap isu-isu yang melulu itu-itu saja. Entah itu berita-berita tentang Jokowi atau Jessica. Bisa jadi memang seperti itu. Hasilnya, orang-orang pun tersenyum.
Humor Mukidi ini, layaknya iklan daring yang bertebaran di mana-mana, bisa jadi membawa pengalaman yang postif, tapi bisa jadi juga membosankan dan mengganggu. Menurut satu hasil riset, konten humor yang tersebar di media sosial berpotensi dilupakan hanya 40 persen dan selebihnya 60 persen punya banyak potensi untuk terus diingat. Nah, tergantung kita menilai dan menafsirkan gejala Mukidi ini seperti apa.
Ya, pada hari ini, saya melihat gejala Mukidi ini akan mulai memudar. Sudah masuk dalam kategori membingungkan, barangkali karena cerita yang terlalu random dan ya itu tadi, nyerempet ke hal-hal yang beberapa pihak dan peran menjadi tidak nyaman karenanya.
Dalam hal ini, saya cukup setuju dengan program WIB (Waktu Indonesia Bercanda) di salah satu stasiun TV. Orang bercanda, juga punya waktu. Waktu yang dikhususkan untuk bercanda ini digunakan semaksimal untuk menyajikan humor yang atraktif dan segar.
Orang-orang Papua juga punya kebiasaan humor yang tak kalah hebatnya dari Mukidi. Mop namanya. ‘Mop’ adalah cerita-cerita lucu khas Papua. Hebatnya pula, Mop Papua (insya Allah) tidak akan pernah jadi viral karena: 1) Anda harus mengerti logat Papua untuk bisa mengerti, hehe, 2) Mop Papua disajikan dengan lewat budaya bertutur 3) Mop Papua, ada waktunya. Hehe.
Ya, ada waktunya. Pada saat-saat tertentu ketika selesai makan bersama misalnya. Mereka mulai ‘baku carita Mop’. Artinya, saling menceritakan humor. Ketika dinyatakan berhenti oleh satu orang yang lebih tua, mereka juga berhenti dengan sendirinya.