Tulisan D.H. Burger
Desa Ngablak, di kewedanaan Tayu kabupaten Pati, terletak di jalan raya antara Tayu dan Jepara, kira-kira 10 km sebelah barat ibukota kewedanaan Tayu, dekat perbatasan kecamatan Tayu dan kecamatan Cluwak. Dalam tahun 1869 Ngablak benar-benar merupakan sebuah desa pedalaman dan dalam tahun 1929 keadaannya masih tetap seperti itu juga. Pada tahun 1869, jumlah penduduk desa Ngablak adalah 912 yang terdiri dari orang pribumi. Kemudian pada tahun 1929, jumlah penduduknya meningkat menjadi 2608 orang pribumi, ditambah 2 orang Cina.
Dalam tahun 1869 masih terdapat rimba dan tanah hutan. Diberitakan pula bahwa tanpa keberatan desa Ngablak dapat menyerahkan 25 bau tanah kepada desa Ngawen yang kekurangan tanah perhumaan. Ternyata masih cukup terdapat persediaan tanah untuk keluarga-keluarga baru dan mereka yang datang menetap di desa itu. Teranglah bahwa pemilikan tanah pada tahun 1869 adalah berkelimpahan.
Sejak dari itu hutan dan rimba dibuka untuk perhumaan. Sesudah peraturan tanam paksa dihapus, sisa-sisa kebun kopi itu diubah menjadi pekarangan dan perhumaan. Sawah dan tanah kering bertambah luas, kebun-kebun kopi banyak yang dijadikan tanah perladangan.
Pekarangan-pekarangan ditanami dengan kelapa dan bermacam-macam pohon buah-buahan tertentu. Tanaman kapuk berkembang dengan pesat selama seperempat abad terakhir dan merupakan tanaman yang sangat penting sekali di antara tanaman-tanaman keras. Penduduk mendapatkan penghasilan yang sangat lumayan dari penjualan kapuk sehingga menambah pemasukan kas desa.
Untuk peternakan terjadi penambahan dari tahun 1869 dan tahun 1929. Pada tahun pertama hewan yang ada di desa Ngablak hanya kerbau. Namun pada tahun kedua sudah terdapat sapi dan kuda. Sapi ini terutama digunakan untuk pertanian dan sebagian digunakan untuk menarik pedati. Sedangkan kuda dipakai untuk menarik gerobak penumpang. Dengan begitu pada tahun kedua ini pemilikan alat-alat angkutan adalah hal yang baru bagi penduduk.
Pada tahun 1869 biasanya ternak di sewa pada saat musim hujan. Harga sewanya dibayar dengan menggunakan padi, yakni 4 bawon (6 pikul) untuk seekor kerbau dalam semusim. Atau 1 amet dan 2 bawon (8 pikul) padi untuk sepasang kerbau. Akan tetapi pada tahun 1929 masyarakat lebih di biasakan mengupah seorang untuk mengerjakan sawah dangan pasangan kerbaunya. Upahnya yaitu f 0.50 selama setengah hari.
Masih di tahun yang sama, di desa tersebut juga terdapat tanah komunal atau yang disebut sebagai "tanah ulayat", yaitu sawah-sawah milik bersama. Sawah ulayat ini tidak boleh diperjual-belikan oleh si pemilik. Bidang-bidang sawah masing-masing pemiliknya tidak mempunyai tempat yang tetap, akan tetapi beralih-alih secara teratur. Sistem pengalihan ini dihentikan pada tahun 1914, dan tidak ada lagi pada tahun 1929.
Masyarakat desa yang sudah memiliki sawah, bukan sawah ulayat lebih dari 1 bau tidak diberikan lagi hak atas tanah ulayat. Sedangkan bagi masyarakat yang sawahnya bukan ulayat, tapi luasnya tidak ada 1 bau, maka hanya akan mendapatkan bagian dari sawah ulayat sedemikian luas, sehingga jumlah luas seluruhnya tidak boleh lebih dari luas tanah seseorang yang menjadi kuli dari sawah ulayat. .
Pelaporan lama memberitahukan empat kali terjadi pergantian sawah-sawah menjadi sawah ulayat. Alasannya karena sawah itu terlantar, tidak terurus sesudah meninggalnnya orang yang pertama kali membukanya. Kemudian pada tahun 1929 jumlah sawah ulayat semakin berkurang dibandingkan tahun 1869. Pada tahun 1929, sebagian tanah ulayat yang tidak terpelihara, dibentuk menjadi "sawah bondo deso". Luasnya 0,396 bau. Setiap tahun sawah itu disewakan dan hasilnya dipakai untuk kas desa.