Lihat ke Halaman Asli

Mujab Mujab

Wahana menuangkan karya dan gagasan

Aspek Kultural dalam Bertani

Diperbarui: 26 Juli 2020   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani menyiangi rumput di sela tanaman padi

Bertani bukan sekedar mengisi waktu luang. Menjadi petani tidak terbatas sebagai profesi. Namun bertani dan petani terkait dengan kultur, budaya bahkan keyakinan seseorang. Hal ini yang melandasi para petani tetap bertani apapun hasilnya dan apapun resiko yang dihadapi. 

Menjadi petani sejati adalah darah daging dan aliran darahnya, dan menjadi jalan hidupnya. Dari aspek kultur dan budaya inilah sejarah mencatatkan bahwa petani dan bertani mengantarkan kemajuan peradaban sebuah bangsa, membangun ilmu pengetahuan dan kerajaan kehidupan hingga kini.

Ditinjau dari aspek komunitas dan masyarakat petani memiliki hubungan sangat erat. Di masyarakat tani komunitas dan masyarakat terjalin erat. Mereka memiliki ikatan emosional dan kultural kuat karena sejumlah aspek, mulai dari merencanakan pengolahan lahan hingga memanen hasil tani dan mengolahnya. 

Saat hendak mulai menggarap lahan misalnya petani akan memanjatkan doa selamatan sebagai dimulainya proses bertani. Berdoa biasanya dilakukan bersama tetangga dan orang di sekelilingnya.

Dalam mengelola sumberdaya yang terbatas juga perlu kerjasama dan pengelolaan bersama komunitas mereka. Air untuk pertanian yang terbatas tentu akan digunakan bersama sama agar semua petani tercukupi kebutuhan airnya. 

Ada aspek budaya dalam pengelolaan air. Ulu ulu, atau subak sebagai contoh lain dalam system pengelolaan air untuk pertanian. 

Begitu juga di Baduy, di masyarakat Samin, dan daerah daerah lain di Nusantara. Semua system ini terbangun dan terjaga karena kekuatan komunitas. Mereka menyepakati bahwa hukum adat mengelola air, termasuk penggunaan dan menjaga kelestariannya adalah komitmen bersama.

Petani juga memiliki kultur dalam menjaga kedaulatan pangan melalui upaya upaya menjaga ketersediaan pangan dan cara penyimpanan hingga penggunaannya. Ketika panen melimpah para petani memiliki system menyimpan pangan baik sebagai cadangan bahan pangan hingga untuk bibit yang ditanam kemudian. 

Masyarakat Nusa Tenggara memiliki uma lengge yaitu semacam lumbung pangan untuk menyimpan hasil panen mereka seperti padi, jagung, sorgum, dan lain sebagainya. 

Orang Baduiy memiliki Leuit semacam lumbung untuk menyimpan padi hasil bertani. Begitu juga dengan daerah daerah lain di Nusantara, memiliki kultur dan budaya dalam memelihara ketersediaan, ketahanan dan kedaulatan pangan sesuai dengan budaya masing masing.

Masih dari aspek kultural, dalam dunia pertanian dikenal tradisi mengenali cuaca, iklim, perubahan angina dan pembagian waktu dalam setahun. Di Jawa ada Pranata Mangsa. Pranata Mangsa ini menggunakan kalender matahari, berkebalikan dengan penanggalan jawa yang menggunakan kalender bulan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline