Lihat ke Halaman Asli

Muja Hidin

Mahasiswa universitas mulawarman

Politik Identitas Indonesia dalam Hubungan Relasional Kewarganegaraan Chantal Mouffe

Diperbarui: 15 Juni 2023   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Penulis : Mujahid (Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Kota Samarinda )

Perlu diakui bahwa keharmonisan dan stabilitas nasional menjadi sangat fluktuatif dan berisiko di tengah hiruk pikuk demokrasi lima tahunan. Persaudaraan sejati bisa hilang atau bahkan ditawar seperti barang di pasar. Berdasarkan konteks Indonesia sebagai negara multikultural, pluralitas pluralitas dapat dijadikan sebagai objek produksi konflik berbasis identitas dengan mempertimbangkan isu-isu yang sangat eksplosif seperti suku, agama, ras,dan antargolongan (SARA).

Pada tahun 2016, Kamus Oxford menunjuk terminologi post-truth. Hal ini berangkat dari fenomena era  demokrasi post-truth selama tahun 2016, terutama dalam dua peristiwa politik global yakni pemilu di Amerika Serikat dan Referendum Brexit di Inggris. Istilah post-truth mengacu pada "kompetensi klaim kebenaran, terdapat pluralitas kebenaran dalam waktu yang sama. Dalam hal ini, istilah post-truth menggambarkan politik post-truth sebagai budaya politik di mana debat publik dibingkai menarik terhadap emosi dan perasaan masyarakat .

Di Indonesia sendiri, kontestasi pemilu sebelumnya, terutama pada tahun 2014 dan 2019, terjadi gesekan sosial dan polarisasi masyarakat ke dalam blok-blok politik tertentu. Ada narasi seputar eskalasi gejolak politik identitas yang dianggap memecah belah hingga menimbulkan konflik atau permusuhan berbasis sektarian di kalangan masyarakat.

Lalu bagaimana demokrasi sendiri memandang dari politik identitas .Apakah politik identitas itu cukup aman apabila dia tetap hidup dalam suatu sendi-sendi demokrasi berbangsa dan bernegara .

Menilik pada sejarah perpolitikan Indonesia tentunya, politik identitas menjadi warna atau corak tersendiri dalam pembangunan politik nasional bangsa Indonesia di masa lalu .Tercatat di awal kemerdekaan Indonesia   pada masa orde lama 1950-1965 .Konstelasi politik nasional sangat kontras terhadap pergolakan ideologis dari beberapa kelompok politik yang memiliki kecenderungan terhadap beberapa paham ideologis tertentu misalnya perdebatan antar kelompok Nasionalis ,Agamis, dan Komunis .

Namun kecenderungan Pada waktu itu Politik identitas dipahami dalam kerangka citizenship, kewargaan. Identitas-identitas yang menyuarakan aspirasi politiknya---tak lain adalah citizen (warga negara).

Sehingga proses demokrasi yang berlangsung itu menjadi lebih konstruktif karena mampu menyediakan ruang bagi berbagai model interpretasi seperti interpretasi liberal ,konservatif , Sosio-demokratis , dan lain-lain .Namun secara proses setiap identitas tetap dimaknai secara relasional  yang pada akhirnya itu akan melahirkan konflik -konflik yang produktif dalam membangun demokrasi .

Kemudian barulah memasuki masa orde baru hubungan relasional dalam demokrasi itu dipersempit dengan alasan stabilitas nasional . Alhasil konsensus terhadap prinsip-prinsip etis politis hanya ditarik pada relasi ideologis yang tunggal yakni , pancasila . Pada masa orde baru jargon pancasilaisme dijadikan jargon politik yang dikonsesnsuskan. Dalam hal ini interpretasi yang dikonsensuskan (dihomogenisasi) akan melanggengkan sebuah tafsiran yang hegemonik dan mengeksklusi beragam interpretasi lain yang berbeda .

Degradasi terhadap kualitas demokrasi terus berlanjut pasca reformasi ,walaupun pada masa ini demokrasi ditarik secara relasional menjadi lebih terbuka meninggalkan warisan sistem demokrasi yang dianggap otoriter pada masa orde baru . Namun era keterbukaan demokrasi pasca reformasi belum menjadi suatu lompatan perbaikan kualitas demokrasi . Khususnya ,dalam hal gagasan -gagasan populis yang mengisi ruang demokrasi pada era Pasca reformasi .

Gagasan -gagasan populis pada era demokrasi pasca reformasi lebih banyak ditarik pada dikotomi terhadap hal -hal yang sangat eskplosif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sehingga ini sangat jauh dari konteks relasi konflik dalam demokrasi yang harusnya lebih digiring kepada kerangka citizenship (kewargnegaraan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline