Rasanya ini pertama kali saya menjajaki sekitaran setelah beberapa saat menetap di Jakarta, spesifiknya, Jakarta Timur. Jalanan sekitar Universitas Prof. Dr. Hamka cukup ramai siang itu pada Sabtu (13/7). Menyaksikan mahasiswa dengan derap langkah terburu-burunya, pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan dagangannya, atau padatnya kendaraan yang berlalu-lalang di jalan yang cukup minim itu tanpa adanya aktivitas lain yang terganggu. Asap yang mengepul sepertinya sudah menjadi asupan sehari-hari warga sekitar sini. Dalam beberapa hari terakhir, banyak sekali yang dapat diperhatikan dari kota Metropolitan ini. Termasuk para ojek online yang cukup ramai dan juga, penggunaan motor listrik diantara mereka yang cukup menarik perhatian saya, entah apa motifnya. Tapi jika ditilik kembali, banyaknya kendaraan dan populasi manusia yang kemudian membuat saya berfikir, "Dibanding saya, kota ini jauh lebih sibuk". Dari ramainya populasi manusia dan tingkat mobilitas itu, pastinya polusi di kota ini perlu menjadi perhatian. Hiruk pikuk Ibu Kota ini pasti sudah bukan lagi hal yang asing bagi warga setempat.
Dalam salah satu upaya menjaga tingkat polusi udara serta kualitasnya, dijelaskan dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan, yang salah satunya adalah peraturan ini menghimbau untuk penggunaan motor listrik sebagai salah satu upaya dalam perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dalam pelaksanaannya tentu akan banyak didapati pro dan kontra.
Menurut penjelasan Yana (40), salah satu driver ojek online yang saya temui di pinggiran jalan sekitar Pasar Induk Kramat Jati sebagai pengguna motor konvensional. Motor listrik kerap kali menarik perhatian tentunya, kemudian menjadi hal yang disayangkan adalah fakta bahwa minim serta mahalnya untuk mendapat fasilitas tersebut.
"Nggak balik modal, wong sewanya aja 50 ribu sendiri. Iya sih, ga pake bensin, tapi biaya perawatan dan kalo amit-amit kecelakaan juga yang nanggung driver. Nggak ada jaminannya" kata dia Sabtu (13/7)
Dalam penggunaannya, perusahaan ojek online tersebut memang mensosialisasikan himbauan tersebut dengan menyediakan beberapa motor listrik perusahaan sebagai fasilitas, dengan maksud untuk disewakan. Hal ini yang menurut beberapa driver ojek online minim minat untuk beralih ke motor listrik selain karena perlu membayar biaya sewanya, lokasi charging station yang masih tersedia dalam jarak yang jauh, dan juga perawatan motor listrik serta kecelakaan yang ditanggung pribadi.
"Ribet, mau ganti baterai juga susah, jauh-jauh lokasinya. Belum kalua tiba tiba macet di jalan habis baterai," kata Yana.
Hampir setiap hari, kendaraan-kendaraan bahkan truk besar masih ramai melintas. Terlihat kerutan-kerutan di raut masyarakat sekitar, entah itu karena bising klakson dan asap-asap kendaraan yang mengepul, atau memang harinya sedang buruk.
Dalam sisi pandang Abdu (25), driver ojek online yang saya temui di pinggir jalan Pasar sebagai salah satu pengguna motor listrik. Adanya peraturan ini tentu menjadi cita-cita yang tentunya baik bagi negara. Lagipula, penggunaan motor listrik dinilai bisa menjadi solusi untuk menghemat pengeluaran.
"Jelas lebih murah, walaupun sifatnya sewa, ya. Dari segi baterai itu pun juga hemat, asal hati-hati aja. Motornya juga enak, nggak berisik" kata dia (13/7)
Gerakan ini tentunya menjadi pelopor dalam upaya menjaga lingkungan sekitar, dengan meminimalisir polusi dan menjaga kualitas udaranya. Serupa dengan Abdu, Nurdin (37), salah satu driver ojek online yang mendukung positif adanya himbauan tersebut, meskipun bukan salah satu pengguna motor listrik.