Lihat ke Halaman Asli

Muis Sunarya

TERVERIFIKASI

Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

Merayakan Idul Adha dalam Ruang Dukacita dan Raung Sirene Ambulans

Diperbarui: 20 Juli 2021   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana pemakaman jenazah Covid-19 di TPU Rorotan, Jakarta Utara, Kamis (24/6/2021). (KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)

Semburat mentari pagi menyeruak di ufuk timur dan menghangatkan ruang batin kita dalam menyambut Hari Raya Idul Adha 1442 H/2021 M.

Kita bersama mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil sebagai rasa syukur kita atas segala karunia, terutama kesehatan dan lindungan dari Allah.

Suasana Hari Raya Idul Adha kali ini masih diselimuti perasaan dukacita dan kesan kurang nyaman, dipenuhi rasa kekhawatiran dan suasana mencekam atas realitas pandemi yang masih melanda negeri kita khususnya dan negeri-negeri lainnya di antero dunia.

Kita berdukacita kepada saudara-saudara kita yang sakit karena terpapar pandemi atau sebab diganosa penyakit lainnya, dan bahkan pandemi secara kasatmata merenggut nyawa tak sedikit dari saudara-saudara kita. 

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kita berasal dari Tuhan dan kita pasti kembali kepada-Nya. Tuhan adalah sangkan paraning dumadi atawa hurip.

Saat ini kita benar-benar merasakan tengah berada dalam ruang dukacita yang mendalam. Begitu beruntun kabar dukacita tersiar di lini masa media sosial kita. Belum lagi raung sirene ambulans yang kerap berseliweran di jalan raya, terdengar menyayat hati ketika melewati pelataran rumah kita hari-hari belakangan ini.

Bagi saudara-saudara kita yang saat ini tengah terbaring sakit dan menjalani isoman karena terinfeksi virus corona, semoga Tuhan segera menyembuhkannya, dan benar-benar pulih seperti sediakala.

Dan bagi saudara-saudara kita yang telah meninggal dunia, mendahului kita, semoga husnulkhatimah dan mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah.

Pandemi ini hendaknya menjadi isyarat dan pelajaran dari Tuhan dan semesta bagi kita semua. Bukankah pandemi, jika boleh dikatakan, adalah kritik Tuhan dan semesta pada kita semua: Jangan-jangan ada yang salah dalam beragama kita selama ini?

Betulkah kita benar-benar beragama dengan sepenuh hati atau jangan-jangan sekadar setengah hati? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline